Tentang Pernikahan yang Dihadiri 12 Uskup

Beranda Facebook ramai dengan pro dan kontra tentang hadirnya 12 uskup dalam pemberkatan pernikahan pasangan Melisa Kristi Kristianto dengan Narsis Nararya Ciputra (Melisa dan Narsis) di Katedral Jakarta, Sabtu (6/2) kemarin. Ini sebuah catatan kecil tentang itu. Sengaja tidak langsung saya tuliskan di Facebook, biar ada klik ke narareba.com (colek Kak Armin Bell, hehehe…).

Tentang Pemberkatan pernikahan yang Dihadiri 12 Uskup

Sahabat dan Saudara-saudari Seperjalanan Hidup

Kalau dihitung, para sahabat seangkatan di Kisol yang telah mengikrarkan Kaul Kekal dan ditahbiskan menjadi imam, jumlahnya tidak sedikit. Itu belum termasuk adik atau kakak angkatan yang selisihnya satu atau dua tahun. Saya bersyukur untuk itu; bersyukur karena pernah menjadi sahabat seperjalanan mereka dalam menapaki perjalanan panggilannya.

Juga di biara OFM, tempat saya pernah berkesempatan untuk menghayati semangat hidup St. Fransiskus Asisi; saya mendapatkan begitu banyak “Saudara” di sana. Ah, ya.. Nama “Nara Reba Manggarai” yang sekarang jadi nama untuk https://narareba.com/ bahkan saya “pinjam” dari istilah “saudara muda” di lingkungan persaudaraan OFM: catatan seorang Nara Reba (saudara muda) Manggarai yang sedang belajar di sekolah kehidupan di perantauan.

Di biara OFM, saya juga punya banyak “Saudara Tua” yang telah mengikrarkan kaul kekal; mereka menjadi bruder dan imam yang berkarya di mana-mana. Sampai hari ini, dalam hati kecil, saya masih menyebut dan mendoakan mereka dengan sapaan “Saudara”, cara saya untuk mensyukuri perjalanan singkat saya di biara St. Bonaventura – Pagal dan Rivotorto – Depok.

Selain itu, saya juga punya beberapa saudari dan ‘tanta’ (inang) dari hubungan kekerabatan dan pertemanan yang kini telah mengikrarkan kaul kekal sebagai biarawati, sebagai suster. Mereka adalah para saudari dan tanta yang sampai hari ini, dalam keterbatasannya, masih setia bertukar kabar dan memberi peneguhan, entah itu lewat pesan singkat atau media sosial.

Tanpa mengabaikan setiap bentuk relasi dengan para suster, frater, bruder dan imam lain yang sampai hari ini masih terjalin dengan baik, di dunia nyata maupun melalui media sosial, sepertinya jumlah para sahabat seangkatan, para ‘saudara’ dan ‘saudari’ yang ‘tadi itu’ saja sudah kelewat ‘banyak’ untuk diundang dalam resepsi sederhana pernikahan saya nantinya.

Kemantapan Hati dan Tanggungjawab Atas Janji

Oh, iya.. Kemarin saya baru memposting satu status kecil tentang tekad untuk memantapkan hati, “2016: siap menikah..”. Seperti juga di jenjang pendidikan calon imam dan biarawan/biarawati, memutuskan untuk menikah adalah hasil dari sebuah proses panjang. Keputusan untuk berjanji sehidup-semati di hadapan Tuhan dan sesama dengan satu pasangan hingga maut memisahkan adalah sebuah pilihan yang tidak lebih mudah dari keputusan untuk mengikrarkan kaul kekal atau ditahbiskan menjadi imam.

Itu adalah janji yang “satu untuk selamanya”. Janji untuk diri sendiri, kepada Tuhan dan kepada pasangan saya nantinya, yang disaksikan oleh para undangan yang berkenan hadir di perayaan pernikahan itu. Aiss.. Kalau ingat tentang misa nikah yang dihadiri 12 uskup yang kemarin itu, entah kenapa, saya salut dengan kedua mempelai. Tidak main-main, mereka berjanji di hadapan 12 uskup!!

Betapa itu sebuah kesiapan dan kemantapan hati yang luar biasa besar jika mengingat bahwa uskup adalah pemimpin tertinggi dalam hierarki gereja untuk sebuah keuskupan. Sepemahaman saya, berjanji di hadapan 12 uskup juga sekaligus berjanji di hadapan umat dari 12 keuskupan. Kalaulah harus mengingat itu, saya jadi malu dengan diri sendiri. Entah bagaimana, rasa-rasanya saya belumlah semantap itu.

Barulah Saya Akan Bilang: Terlalu e…

Soal ribut pro dan kontra di media sosial tentang hadirnya 12 uskup dalam pemberkatan pernikahan Melisa dan Narsis, catatan saya sederhana. Siapa tahu, mereka seperti saya; yang keluarganya pernah di seminari atau di biara, dan karenanya ‘punya’ sahabat seangkatan yang kini telah menjadi uskup.

Lagi-lagi, itu cuma catatan sederhana, dari kaca mata saya. Saya yakin, sekiranya saya menikah dan mengundang para sahabat dan keluarga yang kini telah menjadi imam dan biarawan serta biarawati, mereka tentu akan hadir: sebagai sahabat seperjalanan, sebagai keluarga. Kalaulah ada yang tidak hadir, tentulah karena ada urusan mendesak, atau karena jarak yang kelewat tak terseberangi. Iya, tentu begitu.

Kalaulah ada yang tidak hadir ‘gara-gara’ membaca postingan berita “Forkoma PMRKI: Hadirnya 12 Uskup di Pemberkatan Pernikahan Berlebihan” di beritasatu.com yang kemarin itu, barulah saya akan bilang: terlalu e.. 🙂

Artikel SebelumnyaTowe Toto Molor: dari Telinga ke Telinga
Artikel BerikutnyaTombo Nipi – Senandung Perantau Manggarai