Sejenak Membayangkan Jakarta Seperti Surga

Batas terluar area Monas dan pagar di pinggir Istana berjarak sepelemparan batu jauhnya. Persis di tengah-tengahnya, kami diberhentikan hari itu, meski lampu lalin menyala hijau.

Ternyata ada rombongan. Keluar dari kompleks Istana. Bermobil-mobil. Dikawal ketat. Sampai saya lelah menghitung jumlahnya.

Dan kami, yang berpeluh terik dan berselimutkan hawa panas di atas motor, hanya bisa menunggu. Sampai mereka lewat.

Di sini. Di titik yang katanya jantung Indonesia.

Sambil menebak-nebak tipe-tipe mobil yang lewat, ingatan saya melayang ke bayangan tentang surga.

Ya, kata “surga” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta: “svarga”, sebuah konsep Hindu untuk membahasakan tempat berdiamnya cahaya dan para dewa yang dipimpin dewa Indra — di sanalah berdiam jiwa-jiwa yang saleh, sebelum mereka be-reinkarnasi.

Kata svarga berasal dari dua kata Sanskerta: “Svar” yang secara ringkas diterjemahkan sebagai “cahaya”, dan “Ga” yang artinya “sedang bergerak”. Jadi, secara etimologis, surga diterjemahkan sebagai “perjalanan menuju cahaya”.

Konsep “Perjalanan Menuju Cahaya” itulah Svarga: sebuah persinggahan bagi jiwa-jiwa saleh semasa hidupnya, tetapi belum siap untuk mencapai “Moksha”, atau diangkat ke “Vaikunta” yang adalah tempat kediaman dewa Wishnu.

Di atas motor, merenungkan itu sambil menunggu rerangkaian mobil-mobil mewah yang keluar dari istana, saya senyum-senyum sendiri.

Tersenyum. Kecut. Membayangkan betapa banyak orang yang membayangkan Jakarta itu seperti Surga. Tempat segala kegembiraan itu ada dan tersedia. Mereka mungkin lupa menambahkan tiga kata kunci: asal-ada-uang.

Juga lupa. Jika pun Jakarta seumpama Surga, Mamakota hanya persinggahan sementara. Jika tidak cukup ‘saleh’, tidak akan pernah mencapai Balai Kota atau Istana Negara yang seumpama Moksha, atau Vaikunta.

Jadi, ‘saleh-lah’ dulu jika ingin ke Jakarta. Entah itu diterjemahkan sebagai “asal-ada-uang” atau hal lain. Jika tidak, jangan pernah berharap memasuki Moksha atau tempat kediaman sang pemimpin tertinggi di seberang Monas itu.

Apalagi di hari-hari ini, Surga sedang banjir-banjirnya.

Sejenak Membayangkan Jakarta Seperti Surga

*Seberang Istana. Februari 2020.

Artikel SebelumnyaLama Dijajah: Ada yang Peka, Ada yang Kebal
Artikel BerikutnyaSelamat Ulang Tahun, Kader, Rekan, dan Sahabat!