Orang Jelek Juga Bisa Menyanyi, Sesekali

Orang Jelek Juga Bisa Menyanyi, Sesekali
Jadi, begini. Hari itu kira-kira pukul dua siang. Matahari sedang persis di atas kepala dan udara kota di timur Jawa itu sedang panas-panasnya membakar apa saja. Badan ringkih yang terbungkus jaket tebal ala orang Eskimo ini pun serasa mandi sauna.

Belum lagi rambut keriting yang sejak tadi mengirim sinyal bahaya, segera digaruk jika tak ingin gatal menggoda; sejenis perasaan yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang berambut gondrong yang belum mencuci kepala. Ingin rasanya merutuk dalam gerutuan anak-anak jaman now: “Mori, aku tem sanggup.” Bah!

Surabaya, Setelah Pernikahan Senior

Surabaya di awal Juli. Siang hari. Setelah pernikahan Fransisca Sheila Romana dan Marcell Gunas, tepatnya. Setelah hadir mengucapkan selamat sebagai sahabat dan menunaikan tugas sebagai anggota perhimpunan: mewakili rekan-rekan PP PMKRI yang saat itu sedang sibuk-sibuknya mengawal IMCS Pax Romana Summer School di Flores.

Setelah menggeser tempat untuk membaringkan kepala, berpindah dari kota yang lekat dengan kisah tentang Dahanapura dan raja Airlangga, ke kota yang terkenal dengan gagah patung sang Jenderal Besar Raden Soedirman-nya. Setelah dari Kediri ke Surabaya, persisnya.

Sekali lagi, siang itu, dalam badan ringkih yang dibalut jaket tebal ala Leonardo Dicaprio dalam “The Revenant” dan dimahkotai rambut gatal ala anak Will Smith dalam “The Pursuit of Happines“, kaki dilangkahkan ke Marga Surabaya. Ya, ke Margasiswa PMKRI Cabang Surabaya. Ke rumah bersama yang letaknya persis di Jalan Taman Simpang Pahlawan Nomor 4A itu.

Diterima dengan senyum hangat dan kopi panas. Juga dengan keramahan khas saudara seperhimpunan yang telah lama tak berjumpa karena berbeda kota: saya di Jakarta dan mereka di timur Jawa. Terakhir kami bertemu selepas pulang dari kota Carnaval, Maret lalu, usai diundang hadir untuk mendampingi rekan-rekan DPC PMKRI Cabang Jember yang baru saja dilantik.

kota surabaya

Ruteng, Setelah Lama Belum Juga Pulang

Kami duduk melingkari meja kayu di beranda belakang Marga. Berbagi cerita tentang banyak hal, tentang topik dari Sabang sampai Tangerang, dari Depok sampai ke Merauke.

Tidak banyak hal yang bisa diceritakan tentang Jakarta sebagai oleh-oleh. Selain karena semua mata warga perhimpunan sedang terarah ke Flores, ke kegiatan IMCS Pax Romana, juga karena saya sedang enggan membahas hasil Pilkada Ibukota putaran kedua. Ahok sudah masuk penjara tetapi linimasa medsos masih saja penuh dengan perang kata-kata. Sungguh bukan oleh-oleh yang menarik untuk dibagikan ketika sedang berkunjung ke lain kota.

Di beranda belakang marga, kami membahas hal lain: internet dan website. Ya, beberapa punggawa Marjinnews.com sedang ada di marga siang itu. Tema tentang website dan social media, juga tentang internet dan trend perkembangan dunia digital lantas jadi tema bahasan yang menarik.

Di sela-sela perbincangan, kami juga bernyanyi bersama. Begitulah, gitar adalah bahasa segala bangsa dan aksesoris pemanis marga. Kebetulan, di Marga Surabaya ada sepeluk gitar tua yang suaranya masih melengking nyaring. Demikianlah bunyi yang menguar di beranda belakang marga siang itu: tiktik mouse, hentakan toots keyboard, dentingan senar gitar, tawa membahana, ramai laju diskusi dan satu-dua senandung tipis-tipis.

Sampai suatu ketika, di tengah-tengah semua itu, bro Andy Andur berkata lirih: “Abang coba nyanyi dulu, nanti saya rekam.”

Dalam sepersekian detik, saya sempat bungkam. Rasanya belum siap untuk ditodong junior dengan kamera di tangan, dengan posisi siap merekam sebuah video yang bakal tersimpan di Youtube sampai berabad-abad lamanya.

Bayangkan. Surabaya sedang panas-panasnya dan saya sedang jelek sejelek-jeleknya. Jika nantinya rekaman itu dijadikan prasasti di Youtube dan ditonton anak-cucu beratus-ratus tahun kemudian, apa kata silsilah? Gaswat!

Tetapi, sudahlah. Seorang kader harus selalu siap dalam keadaan apapun, bahkan jika itu ditodong untuk tampil dalam keadaan dekil begini. Begitulah kira-kira isi pesan para senior terdahulu. Mengingat itu, saya langsung membongkar lemari ingatan, membuka-buka daftar lirik yang dihafal: adakah syair yang nantinya bagus untuk dikenang jika dinyanyikan?

Pilihannya jatuh ke lagu ini, “Rindu Ruteng”. Sebuah lagu ciptaan sendiri, hasil kolaborasi tahun 2006 dengan seorang kawan: Roland Jemuru.

Akhir Kisah, Penutup Sapa

Demikianlah catatan ini dibuat sebagai pengantar cerita, setelah membolak-balik Youtube dan menemukan bahwa ternyata benar, rekaman video di Marga Surabaya itu tersimpan di sana. Sebuah pengantar yang mungkin akan dirasa terlalu panjang untuk sebuah video rekaman yang kelewat pendek.

Sudah lama saya tidak menulis, lagi. Tengah malam tadi, saat sedang kehabisan ide menyusun materi yang akan dipresentasikan hari ini, tiba-tiba saya rindu untuk menulis, lagi. Menulis di Narareba. Jadilah tulisan ini. Begitu saja. Bahkan alurnya pun hanya mengalir bersama hentakkan jari di papan keyboard. Ah, semoga saja judulnya bukan “Orang Jelek Juga Bisa Menulis dan Menyanyi” seperti yang sedang dipikirkan sekarang ini. Kalaupun iya, mohon dimaafkan.

Sebelum pamit, ijinkan saya kembali menyapa sejumlah nama. Beberapa diantaranya telah sempat dituliskan sebelumnya.

  • Senior Marcell Gunas dan Ibu Fransisca Sheila Romana: Juli rasanya baru lewat beberapa hari. Selamat mempersiapkan kedatangan sang junior.
  • Bro Andy Andur dan rekan-rekan PMKRI Cabang Surabaya: Selamat mempersiapkan Dies Natalis. Ijinkan saya mengutip kalimat Mas Ariel: “Kalian luar biasa!!”
  • Kesa Roland Jemuru: Kapan sudah kita masak ini lagu? Baiknya sebelum api di dapur rekaman meredup padam.
  • Rekan Tomson Silalahi: Terimakasih sudah bersedia diganggu. Maaf e… Karena mentok cari bahan, saya tuliskan catatan ini dulu. Mudah-mudahan setelahnya, ada ide yang mengalir.
  • Kesa Andika Tandang dan Kesa Richard Djegaut: Kesa berdua, saya tergoda untuk sejenak singgah di Narareba. Semoga berkenan dimaafkan. Btw, selamat menikmati akhir pekan. Salam Dawai Nusa: #CarpeNoctem.
Artikel SebelumnyaReview Film Gods of Egypt
Artikel BerikutnyaMemilih BKH, Catatan dari Warung Kopi