Nasihat: Antara Jaga Diri dan Bela Diri

Kutipan itu pernah ada di dinding sebuah hotel. Di pesisir, timur jauh. Tertulis dalam bahasa Inggris.

“Hidup itu ibarat belajar bahasa asing, setiap orang pernah salah mengucapkannya.”

Saya lantas teringat dengan ‘pertengkaran’ saya dengan bapa di masa kecil: ketika saya lebih memilih ikut latihan Kyokushinkai ketimbang kursus bahasa Inggris.

Di masa itu, awal 90-an, di Ruteng. Rerasanya, bahasa Inggris tidak penting-penting amat untuk seorang anak SD. Saya lebih butuh latihan karate, biar tidak selalu di-bully di sekolah sebagai ‘anak yang tidak bisa apa-apa’.

Apalagi, di kelas kursus bahasa Inggris di STKIP pada masa itu, tidak banyak yang matanya belo. Kebanyakan bermata sipit. Kendati tak ada bully-an seperti di sekolah, tetap saja, rasa inferioritas itu terlanjur menetap.

Meski begitu, sebagaimana biasanya bapa selalu menang. Karena rotan, karena nasihatnya selalu sulit dibantah. Juga karena akhirnya saya berkompromi untuk tidak ngotot. Toh, dua-duanya bisa dijalani sekaligus.

Belakangan di masa-masa hidup kemudian, saat kemampuan berbahasa Inggris benar-benar jadi keharusan untuk bisa bersaing di kehidupan nyata, barulah saya paham mengapa di organisasi selalu ada dua pasal ‘legend’ itu;

Pasal 1: Senior selalu benar.
Pasal 2: Jika senior salah, kembali ke Pasal 1.

Nasihat: Antara Jaga Diri dan Bela Diri

*Palembang, pada suatu ketika

Artikel SebelumnyaSeputaran Timba Air dan Kupas Bawang
Artikel BerikutnyaSemeja, Sebakul, Senasib, Sepenanggungan