Menoleh dan Terpanggil

Terimakasih untuk selalu menuliskan kata peduli di dalam hati dan mengucapkan bisikan rindu dalam nada yang kadang kurang ditanggapi dengan bijak.

Panggilan Di Siang Hari
Siang itu kelewat terik. Dua tahun belakangan, berdiri lebih dari dua jam di bawah siraman panas matahari dengan sikap rela boleh dihitung dengan jari. Terakhir, November kemarin, saat prosesi Jalan Salib di gunung Karmel bersama para sahabat dari KMK Universitas Sahid. Selepas itu, tidak lagi. Jika tidak berpayung topi atau bermodal helm saat berkendara, rela adalah kata yang tidak akan disematkan bersama “terpapar sengatan matahari”.

Sekali lagi, siang itu terlalu terik. Rasanya seperti di tepi Sahara atau Gurun Gobi. Kali ini bukan di stasi-stasi jalan salib seperti sebelumnya. Saya di puncak Gunung Gadung, Cipaku, Bogor. Andai di sini lebih banyak pohon, aura yang terasa akan lebih mirip di Karmel. Hening dan sepi yang ditingkahi pantulan bisikan-bisikan terpendam: lantunan doa-doa yang pernah didaraskan sambil berurai air mata. Mirip, kecuali satu: di sini lebih banyak bekas dupa ketimbang lilin. Saya di pekuburan Cina.

Dalam diam, kami berjalan beriringan. Saya di ekor barisan, mencoba menggali lagi dan lagi, kenapa pekuburan ini sepertinya tidak asing. Meski ini kunjungan yang pertama, gambarannya seakan pernah dilihat dalam sekelebat bayangan sebelumnya. Tetapi, di mana? Dalam gelas kopi? Di antara lembaran-lembaran kartu Tarot? Dalam mimpi? Ramalan akhir tahun? Deja vu? Entahlah. Yang pasti, opa akan dikuburkan di sini, dan kami belum tahu persis di bagian mana. Panduan satu-satunya adalah arah telunjuk seorang warga yang mendengar tangisan dari rombongan sebelumnya. Tadinya kami terpisah di jalan, tertinggal sekian mobil dalam kemacetan panjang sebelum masuk ke Batu Tulis.

Setapak yang membelah makam-makam itu menuntun kami masuk lebih jauh ke jantung pekuburan. Beberapa kali saya terhenti, mematung di pinggir beberapa makam untuk alasan yang, maaf, tidak bisa saya ceritakan di sini. Akhirnya, saya tertinggal di belakang bersama Om Mus, yang membawa mobil kami. Sekali lagi, pemandangan lain membuat perasaan saya campur aduk. Sedih, penasaran, terluka, dan … ah, sudahlah. Itu tidak penting untuk dituliskan. Satu hal yang membuat saya kaget, sebuah suara terdengar sayup-sayup memanggil dari kejauhan. “Oee Nara Reba Manggarai!!

Untuk sepersekian detik, saya bingung. Di suatu tempat di tepi Bogor, di tengah pekuburan Cina, di lingkungan yang tidak saya kenal, panggilan itu terdengar janggal. Hanya saja, sebuah kekuatan yang aneh memaksa saya menolehkan kepala, mencari arah suara. Saya tahu, panggilan itu ditujukan untuk saya. Yaa, padahal saya tidak dibabtis dengan itu.

Mengapa Harus Menoleh?
Bukan siapa pemilik suara itu yang belakangan mengganggu. Pemikiran yang menguntit kemudian adalah, kenapa secepat itu saya menoleh? Kenapa otak saya begitu responsif ketika ada yang menyebutkan kata Nara Reba Manggarai? Dan, kenapa saya merasa bahwa saya-lah orang yang dipanggil dengan nama itu?

Sebenarnya, mudah saja bila harus dijawab. Setelah setahun berjuang, Google akhirnya merujukkan query Nara Reba ke blog ini. Saat menuliskan kata “orang manggarai” di kotak pencarian, Google, Bing, Alexa, atau Yahoo juga akan menempatkan blog ini dalam daftar lima pencarian teratas. Beberapa rekan akhirnya memakai kata itu sebagai ledekan dalam sejumlah kesempatan. Pun, sejumlah pembaca bukan asal Manggarai yang belum pernah membaca tulisan tentang latar lahirnya blog kecil ini juga beranggapan, nama saya adalah Nara Reba.

Wajar jika saya merasa, sayalah yang dipanggil dengan nama itu, bukan Om Mus yang juga pada saat yang sama sedang berjarak selangkah di depan. Wajar jika saya begitu cepat menoleh tanpa harus dipanggil dua kali. Masalah selesai. Persoalannya terjawab. Tak ada yang perlu dipertanyakan lagi.

Tetapi, saya tidak puas dengan jawaban itu. Pertanyaan ‘mengapa saya harus menoleh?’ ketika dipanggil dengan nama itu terus mengganggu sampai dua malam lalu, saat saya berdebat dengan Roland tentang tema yang sama. Kami berdebat hebat, setuju dan tak sepakat, mengiyakan dan beradu argumen, hingga akhirnya saya akhirnya harus pamit karena dua adik dari Kebun Jeruk datang berkunjung malam itu.

Sayangnya, setiba di rumah, saya tidak bisa membuka diskusi yang sama dengan Dion dan Windy. Keduanya baru selesai ujian, ingin relax, bukannya pusing berdiskusi atau berdebat soal ‘pertanyaan filosofis yang jawabannya sudah jelas’. Teka-teki itu pun saya simpan sendiri malam itu. Punya kakak pemalu sudah cukup membuat mereka sengsara; jangan lagi ditambah ‘kakak yang kelewat gila’. Hadehh…

Menoleh Karena Terpanggil

Menoleh Karena Dipanggil
Awalnya, itu alasan Roland. Sesederhana itu: kita menoleh karena dipanggil, bukan? Saya tak sepakat. Kenapa saya yang harus menoleh, dan bukannya Om Mus? Ya, karena kau peduli, katanya. Kita menoleh, karena sebagian dari diri kita merasa, panggilan atau rangsangan dari luar itu punya keterkaitan dengan kita. Kita akhirnya menoleh karena kita peduli.

Kami lalu menjelajah pemikiran itu lebih jauh lagi. Ah, ya. Roland adalah teman sejak lama, sejak SMP hingga hari ini. Mulai dari Seminari Kisol, OFM, Driyarkara, Marie Joseph, St. Theresia, dan tetangga RT. Dia salah satu dari sedikit kawan yang mau diajak menggali pemikiran remeh-temeh. Sesuatu yang dianggap aneh oleh sahabat-sahabat yang lain. Jika kami sudah berdebat, yang lain biasanya bilang: “Syukur saya dulunya tidak kuliah filsafat. Kalau tidak, bisa-bisa saya gila seperti  kalian.” Haha!

Roland lanjut di S2 manajemen, sekarang. Itu membantu saya memancingnya berpikir dua kali lebih keras. “Kawan, kita juga menoleh saat ada bunyi gemerincing uang logam yang jatuh. Kita akan menoleh penasaran saat membaca tulisan, dilarang liat-liat. Kita akan menoleh jika ada bunyi asing di tengah riak keseharian. Kita yang akan menoleh, dan bukannya orang lain, ketika di Monas ada yang berteriak ‘Oee genok!!’. Tema ini lebih dari sekadar itu, sekadar peduli. Menemukan rumus di balik itu akan sama suksesnya dengan Isaac Newton yang menemukan rumusan gravitasi: kenapa semua benda yang dilempar ke atas, selalu jatuh kembali ke bumi.”

Dia sepakat soal itu. Ini bisa berujung ke mana-mana, termasuk apa yang membuat orang harus menoleh ke papan iklan? Kenapa orang harus tertarik melihat promosi barang dagangan? Kenapa orang harus peduli untuk terlibat karena sebuah ajakan? Itu rumus yang menarik. Ilmu dan pemahaman yang pernah didapat di STF Driyarkara digali lagi, mulai dari rumus-rumus psikologis, sampai ke ke prinsip humanisme transendental. Publikasi terbaru Fenna Krienen dan Randy Buckner dari Harvard University tentang otak manusia yang lebih responsif pada teman daripada orang asing sempat juga disinggung malam itu. Ah, dasar gila! Saya jadi teringat dengan tulisan orang gila-nya Ase Max Thundang, si Modern Homo floresiensis.

Sejumlah Panggilan Tak Terjawab
Saya masih ingat dengan broadcast message di BBM dari seorang teman beberapa bulan silam. “Kalian yang punya HP, janganlah membuka pesan seperti membaca koran. Hanya di-read tanpa dibalas. Bukannya kita sama-sama pernah merasakan kesalnya menunggu balasan dan kecewanya ketika berminggu-minggu kemudian, perbincangan dibuka lagi dengan alasan, ‘maaf baru punya pulsa?'”. Saya sering melakukan itu, sayangnya.

Tiga minggu terakhir, itu yang saya lakukan. Menyumbat telinga untuk peduli, ketika sejumlah pesan bernada ‘apa khabar?’ atau ‘kamu di mana?’ muncul di kotak inbox. Beberapa panggilan pun sukses terabaikan menjadi ‘sejumlah panggilan tak terjawab’. Tidak hanya dari Depok, dari rekan-rekan di Marga, dari Tebet, dari weta-nara di Jakarta, tetapi juga dari Manggarai – Flores. Keterlaluan, memang.

Sampai hari ini, saya masih yakin, orang-orang seperti Mother Theresa dari Calcuta atau Paus Yohanes XXIII dan Paus Yohanes Paulus II yang kemarin baru saja dikanonisasi adalah orang-orang hebat dengan energi yang luar biasa. Betapapun, kepedulian selalu menuntut energi yang lebih. Waktu yang lebih, otak yang lebih, perhatian yang lebih, perasaan yang lebih, dan tak jarang – kantong yang lebih. Dulu, saya masih punya itu. Beberapa tahun terakhir, kerasnya pertarungan di Jakarta berhasil membunuh separuh nurani. Jujur, saya menyesal.

Semoga tulisan ini menjadi awal dari buah penyesalan itu. Ingin rasanya menuliskan sederetan nama yang harus saya mintai maaf. Saya tahu, itu tidak mungkin. Panjangnya mungkin akan lebih dari jumlah karakter di harian Kompas cetak edisi hari Minggu. Tetapi, beberapa nama mungkin bisa saya sebutkan di catatan ini, mengingat ketidakpedulian tak-terampuni yang mungkin masih bisa dibukakan pintu maaf. Dari hati yang paling dalam, saya minta maaf.

Habis Gelap Terbitlah Terang

Berharap Mereka Masih Menoleh
Untuk weta Veronika Kurniyangsih. Sejak awal weta tiba di Jakarta, saya sudah tidak lagi jadi Ino yang dulu di SDK Kumba I. Terimakasih untuk jadi weta yang selalu menyematkan dukungan dan mengirim pesan tak-terbalas. Terimakasih juga untuk selalu menjadi wanita yang tegar. Saya tahu, kalau pun hari ini, ada Kartini kedua yang akan menuliskan lagi “Habis Gelap Terbitlah Terang”, namamu pasti tercatat di sampul buku sebagai pengarangnya.

Untuk Ase Benjamin Thundang. Saya masih insomnia. Penyakit keterlaluan yang membuat hari Sabtu dan Minggu dipilih sebagai waktu untuk membalas dendam di bubungan kasur. Padahal, kita hanya bisa berkomunikasi di hari itu. Sejumlah panggilan tak terjawab di beberapa minggu terakhir, saya abaikan di antara sadar dan kantuk yang belum tuntas. Sukses selalu untuk jalan panggilanmu. Semoga Tuhan mengirimkanmu malaikat dalam keseharianmu untuk menjadi kakak-paruh-waktu yang bisa mendukungmu tetap tegar.

Untuk weta Angelique Maria Cuaca. Kunjungan terakhir ke Jakarta, saya akui diwarnai rasa kecewa. Masing-masing dari kita sedang bergulat dengan pertempuran hebat. Meski akhirnya, saya tahu, kita bisa melewatinya dengan kemenangan-yang-lelah, tetapi saya tahu, kamu balik ke Padang denga mengubur kecewa. Beberapa kali saya mencoba untuk membuka ruang komunikasi, tetapi saya tak punya bahkan secuil keberanian untuk mengucapkan selamat uang tahun tiga hari yang lalu. Maaf dari hati yang paling dalam untukmu dan salam untuk teman-teman Front Mahasiswa Nasional Padang. Sukses selalu.

Untuk adik-adik yang terabaikan: Cecil, Stella, Jenifer, Tesa, dan Anjeli. Beberapa minggu terakhir, pekerjaan memang jadi alasan utama untuk menghapus jadwal main yang harusnya bisa dihabiskan bersama. Terlahir sebagai sulung dari empat bersaudara membuat saya menemukan kalian sebagai saudari yang dikirim Mori Jari Dedek untuk mengobati kerinduan akan perasaan memiliki saudari yang saya kasihi seperti adik kandung sendiri. Kita akan punya lebih banyak waktu, terutama untuk renang, janji yang kini sudah hampir menguap.

Untuk seseorang di pantai utara. Saya tak tahu, harus menuliskan kata apa. Bila memang masih ada ruang komunikasi untuk kita bisa duduk bersama, ijinkan saya menyewanya dengan sepotong kalimat pembuka: “Apa khabar?”

Untuk-mu. Saya tahu, pesan ini akan sampai. Meski bukan hari ini, meski itu esok atau bertahun-tahun yang akan datang. Terimakasih untuk selalu menuliskan kata peduli di dalam hati dan mengucapkan bisikan rindu dalam nada yang kadang, kurang ditanggapi dengan bijak. Menyimpan segala sesuatu dalam hati, sudah menjadi takdir yang tak bisa saya buang. Beberapa sahabat menganggapnya bermuara ke sikap diam yang pendendam. Kata “Maaf” mungkin tak cukup. Terimakasih untuk segalanya, termasuk untuk mampir di Nara Reba Manggarai sampai di akhir tulisan ini.

Tabe.

"aku masih seperti yang dulu"
Enam tahun lalu, ternyata foto ini masih ada.
Artikel SebelumnyaMaaf, Saya Monyet
Artikel BerikutnyaCinta Biru Chelsea: Mou, Eva, dan Ramires