Mempertanyakan Identitas: Latar Cerita Nara Reba

Pemeo itu masih menjadi ejekan bahkan ‘jualan’ untuk orang NTT: Nanti Tuhan Tolong atau Nasib Tidak Tentu. Belakangan, Ahok menambalnya jadi New Teritorial Tourism. Mempertanyakan Identitas, catatan tentang Latar Cerita Nara Reba, blog seorang perantau dari NTT.

“Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasibnya” – petikan Pidato Bung Karno saat HUT Proklamasi 1964

Tebak-tebakan Unik

Tidak hanya adik-adik yang duduk di bangku SD, masih banyak orang dewasa yang ketika secara mendadak ditanya: “Apa bunyi sila kelima Pancasila?” membutuhkan jeda lebih dari lima detik untuk memberikan jawaban: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Bahkan masih ada yang menggaruk-garuk kepala saat diuji, “siapakah wakil presiden pertama Indonesia?”

Kisah-kisah sejenis itu bukan mob, bukan hanya lelucon. Itu nyata. Tidak percaya? Silahkan mencoba. Cari seorang teman yang ‘agak’ mata duitan dan tanyakan: “Siapa nama pahlawan nasional yang ada di lembaran uang limaribuan?”

Hitung berapa detik yang dibutuhkannya untuk menjawab. Kalau ternyata tebakannya benar, tanyakan lagi: “Kenapa di lembaran seribu rupiah, Kapitan Pattimura digambarkan memegang golok?”

“Kena!!”

Nasionalisme Tanpa Identitas

Lucu sekaligus memilukan. Saya sendiri termasuk salah orang yang cepat naik darah tiap kali ada postingan video baru di Youtube berisi hinaan supporter Timnas Malaysia terhadap Indonesia.

Tetapi di sisi lain, saya juga sadar, betapa kerdilnya pengetahuan saya tentang Indonesia: sejarahnya, masyarakatnya, kondisi sosio-geografisnya, budayanya, atau juga tentang ‘apa sih identitas ke-Indonesia-an itu’.

Sedikit pengakuan dosa, saya pernah menjawab ‘tidak tahu’ ketika iseng ditanyakan “Siapa nama wakil presiden saat masa kepemimpinan Presiden BJ. Habibie?”

Kertas ulangan sejarah saya juga pernah dicoret tinta merah gara-gara menuliskan Budi Oetomo,  bukannya Boedi Oetomo. Dan yang paling parah, dulu ketika ditanyakan tentang nama kota yang diberikan julukan Paris van Java, saya menjawab: “Bogor.” Hahahaha..

Padahal, Bogor kan kota-hujan? Kenapa waktu itu sama sekali tak terpikir tentang Bandung, ya? Mungkin karena Bandung lebih akrab dengan julukan Kota Kembang dan lekat dengan hikayat De Bloem Der Indische Bergsteden (Bunganya kota pengunungan di Hindia Belanda). Akh…

Beberapa kawan memang tidak terima jika identitas keindonesiaan hanya diukur dari pengetahuan-pengetahuan tentang hal-hal semacam ‘itu’.

Namun, muncul juga pertanyaan serupa yang kemudian melahirkan diskusi selanjutnya: “Kalau memang demikian, apakah seseorang juga bisa menyebut dirinya Katolik (atau Muslim, atau Budha, misalnya) tanpa harus tahu dan paham mengenai hal-hal yang mendasari keyakinannya?

Saya termasuk salah seorang yang berdiri di kelompok yang berpendapat bahwa ‘berbuat baik’ dan ‘menjalani hidup yang lurus’ belum cukup untuk membuat seseorang layak menyandang identitas Katolik, tanpa harus mendaraskan Aku Percaya atau ke Gereja setiap hari minggu.

Sama halnya ketika kembali ke tema ‘identitas keindonesiaan’, saya tetap masih merasa ada yang kurang jika mengaku-ngaku sebagai bagian dari bangsa Indonesia/ warga NKRI dengan hanya bermodalkan akta kelahiran/ KTP, hidup baik di masyarakat, tidak korupsi di tempat kerja, dan menonton TV One saban malam.

Sejarah adalah bagian dari pembentukan identitas ke-bangsa-an dan ke-diri-an sebagai warga Negara; itu yang saya yakini sekaligus sesali karena minimnya pengetahuan saya. Begitu pula pengetahuan umum mengenai kekayaan, keanekaragaman, serta kearifan budaya dari saudara-saudari sebangsa dan setanah air belum banyak saya miliki.

Saya masih malu menjadi orang Indonesia karena kekurangan-kekurangan itu. Ya, ada keresahan yang selalu muncul ketika berselancar di dunia maya dan berbincang dengan seorang sahabat dari belahan bumi yang lain.

“Where are you from?”
“Indonesia.”
“Is it near Bali?”
“Oh, no. Bali is a part of Indonesia. Bali is just one of many paradise islands in Indonesia, my country.”
“Really? Tell me about Indonesia.”
“…………………….”

Saya selalu bingung untuk mengisi titik-titik yang terakhir. Ya, ujung-ujungnya pasti berisi cerita tentang Flores, tentang Komodo, tentang Kelimutu, atau tentang Lewoleba. Karena “Indonesia” yang saya kenal akrab, memang hanya “Indonesia – Flores”, lebih tepatnya “Indonesia – Manggarai”.

Lalu, bukankah dengan begitu, saya sama saja dengan sang teman kulit putih-mata biru itu: bahwa Indonesia letaknya dekat Flores, dekat Manggarai? Padahal, Flores, seperti juga Bali, is just one of many paradise islands in Indonesia, our country.

Artikel SebelumnyaDua Thundang
Artikel BerikutnyaLawe – Patah Tumbuh Hilang Berganti