Memilih BKH, Catatan dari Warung Kopi

Memilih BKH, Catatan dari Warung Kopi
Apakah ada orang yang murni seperti itu? Yang tidak akan peduli dengan resiko apapun, tetapi jika ada yang salah akan lantang teriak atau garang menghukum?
Memilih BKH, Catatan dari Warung Kopi

Tidak ada, mungkin. Tuhan juga tidak. Jika ya, dunia ini sudah lama kosong. Bukankah itu kenapa Sang Guru berujar: “Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertamakali melemparkan batu.”

Kita semua punya cacat. Punya cela. Punya kekurangan. Karena kesempurnaan hanya milik Sang Ilahi, bukan?

Karenanya, akan kelewat naif jika ada guru atau calon pemimpin yang lantang berorasi bahwa ia suci. Kalau bersih, mungkin. Karena dalam kata “Bersih”, ada niat untuk menjaga hati dan selalu mawas diri, ketika debu melekat atau lumpur tertempel.

Dan, perjuangan untuk senantiasa menjaga diri agar tetap “Bersih”, tidaklah sesederhana kerelaan gelas kopi yang mesti senantiasa “baru” untuk diisi kepahitan berikutnya.

Meski begitu, nazar untuk senantiasa “Konsisten” menjaga diri “Bersih” dalam memperjuangkan “Kemanusiaan” adalah juga pengakuan yang sesederhana filosofi warung kopi: kami menyediakan kopi terbaik, dan gelas kopi bersih.

Sederhana, tetapi tidak semua warung kopi begitu. Meski itu adalah ujaran dan ajaran yang semestinya telah dipahami sejak lingkar sekang, dituturkan dan diwariskan dalam dongeng purba dari likang ke likang.

Ya, dalam konteks 27 Juni nanti, filosofi warung kopi yang sama, pernah dibahasakan Romo Magnis: “”Pemilu itu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.”

Ini 1 Maret. Ini masih pra-Paskah. Saya memutuskan untuk ikut memperjuangkan NTT yang itu, yang BKH: Bersih, Konsisten, Humanis.

Salam ngopi. Jangan lupa cuci gelas.

@narareba

Catatan BKH

Sekang: rumah/pondok
Likang: tungku

Exit mobile version