Kaos Oleh-oleh Dari Flores | NTT | Indonesia

Oleh-oleh-dari-Manggarai

Saya terkejut. Belum berapa lama disimpan di blog dan dibagikan ke Facebook, telah masuk banyak pesanan untuk Kaos Alumni Sanpio dan Kaos Naga Komodo. Ada sisi lucunya juga, ada yang bilang desainnya sederhana tetapi tetap menarik.

“Kenapa desainnya seperti itu, Kraeng?” Ada juga yang memberikan pesanan baru, “Tolong desain juga untuk kaos putih, Nana.” Jawaban untuk pertanyaan kedua sangat jelas, “Siap!!”, meskipun dijawab sambil bingung memikirkan ide baru.

Pikir punya pikir, akhirnya muncul juga ide tentang “Kaos Oleh-oleh Dari Flores”. Ini adalah tulisan untuk menjawab dua pertanyaan itu: pertama, makna di balik desain sederhana dari Kaos Alumni Sanpio dan Kaos Naga Komodo; kedua, jawaban sekaligus makna dari Kaos Oleh-oleh Dari Flores.

Table of Contents

Kaos Alumni Sanpio

Untuk Kaos Alumni Sanpio, idenya adalah bagaimana setiap alumni Sanpio Kisol bisa terkenang dengan masa-masa saat hidup bersama di Seminari Kisol. Bagian depan kaos hitam itu adalah Gambar Kapel Seminari Pius XII Kisol.

Sangat Khas Kisol. Semua alumni Seminari Kisol dari masa ke masa pasti punya kenangan tersendiri tentang Kapela itu. Sengaja saya tambahkan unsur hitam-putih untuk membangkitkan sisi “ingatan tentang lembah Kisol” bila tiap kali setiap alumni Kisol melihat gambar itu.

Di bawahnya saya tambahkan tulisan: Kisol, Where The Journey Begins. Karena dari sanalah perjalanan (sebagai alumni) itu dimulai. Sedangkan untuk bagian belakang kaos, saya tambahkan modifikasi dari pepatah bahasa Manggarai yang merupakan ide dari ase Max Thundang:

Ca mbaru bate ka’eng | Ca uma bate duat | Ca natas bate labar | Ca wae bate teku | Ca tape bate senget | Ca tivi bate porong | Ca tower bate signal | …

Untuk saya pribadi, itu mewakili kenangan tentang kebersamaan saat masih bersama-sama belajar di Kisol.

Tanda-titik-tiga yang saya tambahkan di akhir adalah ajakan untuk kembali bersama-sama mengingat tentang indahnya kebersamaan di Sanpio dan menghadirkannya kembali dalam hangat kebersamaan antar para alumni di tanah rantau, entah sebagai rohaniwan, biarawan, atau awam. We are the Big Family of Sanpio!!

Kaos Naga Komodo

Untuk Kaos Naga Komodo, harus saya akui, pembuatan desainnya cukup rumit. Saya butuh waktu seharian. Bukan hanya karena saya masih awam di bidang utak-atik gambar, tetapi ini soal ide yang akan dijual.

Pertanyaan terbesarnya adalah, apa yang membuat orang mau membeli kaos itu dan bangga memakainya? Sudah terlalu banyak yang mendesain dan menjual baju bertema Komodo atau Sail Komodo sebelumnya.

Apa yang membuat orang mau membeli lagi baju Komodo dan lebih bangga memakainya ketimbang baju Komodo-nya yang lain? Ini bukan hanya soal marketing dan tampilan desain. Ini juga soal ide yang dibawa oleh baju itu nantinya.

Komodo adalah makhuk yang menyeramkan. Memasang fotonya di  mana pun, tidak sama dengan memasang foto harimau, meski dua-duanya sama-sama makhluk buas. Entah kenapa, Gambar singa lebih menghadirkan rasa kejantanan dan ketangguhan, lain dengan Komodo.

Komodo punya efek yang berbeda, apalagi bagi yang pernah bertemu dan menyentuh Komodo yang hidup. Rasanya seperti kembali ke umur 7 tahun dan harus sendirian melintasi pekuburan China di  pukul dua dini hari. Ufhh…

Begitulah, bentuk tubuh Komodo yang bersisik dan lebih mirip ular serta penampakannya yang menyeramkan membuat beberapa beberapa pendesain baju sebelumnya lebih memilih untuk menampilkan gambar Komodo yang lebih ramah: Komodo versi komik atau komodo versi kanvas. Lihat saja maskot Komodo untuk Sea Games terakhir: Modo dan Midi yang jauh dari kesan tangguh.

Setelah memutar otak seharian, akhirnya saya menyerah. Komodo memang hewan yang tampak menakutkan. Itu tak bisa dipungkiri. Itu juga yang membuat beberapa orang takut untuk melihat gambarnya, apalagi mengunjungi tempat kediamannya di Pulau Komodo.

Mendesain gambar Komodo dalam versi chibi-chibi justru akan menimbulkan kesan ‘tipuan’ dan tetap membuat alam bawah sadar seseorang berbisik bahwa gambar itu menyembunyikan Sosok Pemangsa Buas yang sebenarnya. Nah, tantangannya adalah, bagaimana cara untuk menghadirkan The Real Komodo sekaligus membuat orang merasa tertantang untuk mencari tahu lebih banyak dan kemudian berkunjung ke Pulau Komodo?

Foto Close Up Komodo versi Sephia: dengan satu mata mendelik awas, dengan lidah panjang menjulur mengincar, dengan kepala sigap memperhatikan. Itu gambar depan Kaos Naga Komodo. Di bawahnya saya sematkan tulisan: The Dragon Still On Earth (Komodo – Flores).

Naga adalah legenda, dan makhluk khayangan itu hanya ada dalam mitos dan film-film hollywood semisal The Game of Thrones. Tulisan The Dragon Still On Earth mengirimkan pesan untuk siapa pun yang membacanya bahwa naga yang hidup, yang nyata, masih ada di dunia ini dan itu hanya bisa Anda temukan di Pulau Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur, Indonesia!

Untuk menjawab pertanyaan dan keraguan tentang kebuasan dan keganasan Komodo, gambar yang saya tempatkan di bagian belakang kaos adalah gambar besar dari mata seekor naga.

Di bawahnya saya bubuhkan tulisan: I Have Seen The Komodo Dragon and I Survived: Saya telah melihat Naga Komodo dan saya selamat! Mengunjungi Pulau Komodo bukanlah perjalanan untuk menutup perjalanan usia. Pesannya adalah, Komodo bukanlah dewa kematian sebagaimana yang dibisikkan alam bawah sadar Anda; taklukkan ketakutan itu!

Kaos Oleh-oleh Dari Flores

Sebelumnya saya tidak membuat desain untuk kaos warna putih karena beberapa alasan. Pertama, harga produksi untuk kaos warna putih cenderung lebih mahal.

Kedua, tidak banyak orang yang memilih baju berwarna putih (itu perkiraaan saya saja) bila dihadapkan pada beberapa pilihan warna. Ketiga, bagi saya yang masih awam, harus saya akui bahwa membuat desain dengan latar putih sambil berharap bahwa hasilnya akan menarik, terhitung lebih rumit. Keempat, sejujurnya saya bukan penggemar baju berwarna putih, alasannya sederhana: cepat kotor. Wkwkwkwk..

Lalu, bagaimana membuat desain dengan pesan-an Manggarai dengan hasil yang, paling tidak, membuat saya sendiri tertarik? Mencari, mencari, dan mencari. Ide memang tidak datang begitu saja dari langit, lebih-lebih untuk seorang pemula.

Tetapi toh, “Kita tak akan pernah menyerah sampai kita berhenti”, yang saya jadikan motto blog Nara Reba Manggarai membawa saya pada satu ide kecil. Mengapa tidak membuat sebuah baju versi “oleh-oleh”? Aha!! Oleh-oleh dari Flores, kedengarannya menarik!

Figur yang terpilih untuk menghiasi “cover” depan akhirnya bukan Rebok, bukan Ikang Cara, bukan Sombu, bukan Ute Lomak, bukan Kompiang Tarsan, bukan Siki-seko, juga bukan Towe Songke.

Naga Komodo dan Penari Caci, itu yang saya ambil: Komodo Dragon and Caci Dancer. Di bagian belakang kaos oleh-oleh itu saya sematkan satu pesan singkat untuk orang yang nantinya membaca pesan di balik punggung si pemakai kaos: Pulang Dari Flores.

Saya membuat desain ini dengan harapan bahwa setiap orang yang memakai Kaos tersebut nantinya akan menjadi “Pencerita” sekaligus “Pembawa Pesan” mengenai apa yang mereka temukan di Flores.

Tentunya, info “Pulang Dari Flores” akan membuat setiap orang yang membaca tulisan itu di balik Punggung dari pemilik kaos akan bertanya-tanya tentang Ada-Apa-di-Flores? Dan, secara tidak langsung, dengan menempatkan Naga Komodo dan Penari Caci, si pemakai baju secara tidak langsung akan memiliki kewajiban untuk pertama-tama menjelaskan kepada si penanya tentang Komodo dan Tarian Caci.

Bagi para saudara yang tertarik untuk memesan “Oleh-oleh Dari Flores”, silahkan kontak ke 29FA7F75 (PIN BB) atau 238C20D7 (PIN BB). Khusus untuk pemesanan di luar wilayah Jakarta, harga belum termasuk ongkos kirim.

Kaos ini didesain sedemikian rupa sehingga baik Kita-yang-dari-Flores maupun keluarga kita-yang-mengunjungi-Flores akan memakainya dengan bangga, karena kita dan mereka berasal dan baru kembali dari tempat yang oleh Ivan Nestorman dalam salah satu lagunya disebut dengan My Heaven On Earth.  Di Minggu kedua bulan September, Kaos Oleh-oleh Dari Flores telah siap untuk dipakai dan didistribusikan. Tabe.

Artikel SebelumnyaKaos Naga Komodo: Dukung Kegiatan sail Komodo
Artikel BerikutnyaFlores, The Cape of Flower – Ivan Nestorman