Jika Harus Kembali, Mundur ke Tepian

Jika Harus Kembali, Mundur ke Tepian
Ada masanya, duduk di tepian. Memandang jauh ke luas hamparan. Melihat kembali titik berdiri, sebelum menarik diri dari keramaian.

Di mana-masa seperti itu, pertanyaan-pertanyaan ini kembali mengemuka: siapa aku, dari mana aku, mau kemana aku, dan untuk apa aku.

Seperti dua tahun lalu, di tepian telaga Jakabaring, sesaat sebelum ‘pensiun’ dari Perhimpunan.

Dan, dua tahun berlalu.

Kembali ke tepi. Di sudut awal tahun Tikus Logam. Di akhir Episode 8 Season 6 “Vikings”. Di riuh bayang-bayang wabah Corona. Di ramai cerita munculnya kerajaan dan raja-ratunya.

Di sudut malam, saat rasa penasaran memaksa mata menelusuri garis asal Sunda Empire. Saat masih mencari jawab, kenapa sejak masa purba Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi disebut ‘Sunda Besar’ dan Bali, NTT, NTB disebut ‘Sunda Kecil’.

Ada yang menyeruak dari telaga Wikipedia. Sebuah pepatah warisan kabuyutan tua. Asing di telinga, tetapi seolah memberi jawab, untuk kembali. Bangkit berdiri dari tepi untuk masuk lagi ke tengah pusaran badai.

Bunyinya persis begini:

Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna. Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang. Hana ma tunggulna aya tu catangna.

Artinya, kira-kira seperti ini:

“Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam takan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya.”

Jika Harus Kembali, Mundur ke Tepian

*Jakabaring. Februari 2018.

Exit mobile version