Jembatan: Ketika Nara Reba Bertemu Enu Molas

Di sini namanya Makcomblang, istilah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk perantara pencari jodoh; perantara yang menghubungkan atau mempertemukan calon suami istri. Di sana, di zaman surat-menyurat, kami memakai istilah lain: Jembatan (untungnya tak ada peribahasa yang berbunyi “jembatan (pagar) makan halaman” Hahaha…). Memang, meski berbeda tempat dan masa, intinya tetap sama: Perantara. Si A yang asing dapat bertemu dan mengenal dekat si B yang juga asing berkat jasa si Jembatan, berkat upaya si Makcomblang. Tetapi, pun setelah kenal istilah Makcomblang, saya lebih memilih untuk tetap memakai istilah Jembatan; bukan terutama karena di KBBI kata Comblang juga berarti mucikari, bukan itu.

Saya dibesarkan di Ruteng – Manggarai, kota di tepian lereng yang dibelah oleh banyak anak sungai. Di sana, di masa kecil, untuk saya, jembatan adalah prasyarat kedua untuk bisa ke mana-mana setelah sepasang sandal di pintu keluar. Tanpa jembatan Wae Ngkeling II saya tidak bisa ke SDK Kumba I. Tanpa jembatan Wae Ngkeling I saya tidak bisa ke Gereja St. Mikhael Kumba. Tanpa rangkaian Jembatan Wae Ngkeling II, jembatan Wae Buka, dan kedua Jembatan Wae Ces, saya tidak bisa ke pusat kota Ruteng. Tanpa jembatan Wae Dimpong dan kawan-kawannya, saya tidak bisa menyeberang ke hutan Rongket untuk mencari kayu bakar.

Pada masa itu, selain sebagai penghubung – antara amit wae be ce’e agu iset wae be sina, jembatan juga punya beragam fungsi yang bisa ‘dimodifikasi’ sesuai kebutuhan. Badan Jembatan Wae Ngkeling II misalnya, di pagi hari bisa jadi tempat beramai-ramai mengerjakan pe-er yang harus segera dikumpulkan tetapi entah kenapa lupa dikerjakan di rumah. Di siang hari tertentu, naungannya bisa menjadi tempat bersembunyi saat ada niat jahil untuk bolos sekolah. Pun di hari-hari normal, saat pulang sekolah, jembatan yang sama bisa jadi arena uji nyali: siapa yang bisa melompat dari atas jembatan dan masih bisa tertawa setelah mendarat di dasar sungai  (Hadeehh.. tantangan ini belum pernah terjawab tuntas). Sampai saat ini, saya belum bisa membayangkan, apa jadinya masa kecil di Ruteng – Manggarai tanpa jembatan.

Kembali ke istilah Makcomblang dan Jembatan yang tadi. Selain karena lebih akrab dengan istilah Jembatan, ini juga menyangkut masalah ‘asosiasi’ kata. Saat kata Makcomblang disebut, yang muncul adalah bayangan tetang seseorang dengan dua loh batu di kedua tangan: satunya berisikan Term of Condition, satunya lagi berisikan Term of Reference. Pendek kata, ketika salah satu pilihan untuk mendekati si A adalah lewat Makcomblang, pilihan itu segera dicoret. Alasannya satu: ribet. Perbedaannya akan lebih jelas terasa ketika yang dipakai adalah istilah Jembatan. Jembatan selalu diasosiasikan dengan benda mati, dibuat untuk kepentingan umum, tidak pernah menuntut banyak, selalu ada-di-sana kapan pun dibutuhkan, tinggal butuh keberanian: mau menyeberang atau tidak.

Makanya, sekali lagi, ketika soal nomor lima dalam urutan ujian strategi pendekatan adalah “Bagaimana cara untuk bisa mendekati si Enu Molas?”

A. Lewat Makcomblang 
B. Lewat Jembatan
C. Lewat Jembatan Makcomblang
D. Semua Jawaban Benar”,

Saya pilih jawaban B. Lewat Jembatan. Terserah Bapak dan Ibu guru menilainya benar atau salah.

Pada akhirnya, berapapun nanti jumlah skor penilaiannya, saya minta maaf dan ingin menyampaikan satu hal: maafkan ketidakseriusan saya. Ini hanya Jembatan. Jembatan antara Desember dan yang sebelumnya dengan Januari dan yang akan terjadi setelahnya. Semoga di Nara Reba Manggarai, tulisan ini bisa menjadi Jembatan antara tahun-tahun kemarin dengan tahun yang baru ini. Salam hangat dan terimakasih telah menyeberang. 🙂

Jodoh Orang Manggarai
SELAMAT TAHUN BARU 2014 . . .
Artikel SebelumnyaSe-orang Manggarai dan Diam Yang Kembali
Artikel BerikutnyaEvery Saint Has a Past, And Every Sinner Has a Future