Every Saint Has a Past, And Every Sinner Has a Future

Kita sudah sepakat bahwa hidup adalah petualangan. Bahwa kita adalah orang rumahan sejati sekaligus pejalan kaki paling tahan banting, kita juga setuju. Kita juga sama-sama mengiyakan bahwa setiap perjalanan adalah pengalaman pribadi; meski aku berjalan bersamamu, perjalananku bukanlah perjalananmu. Pun sampai hari ini, kita masih sama-sama mengangguk bahwa setiap petualang belum akan disebut pulang  sebelum ia mengetuk pintu rumahnya. Bahkan setelah sama-sama tahu tentang itu, kita malah semakin jarang pulang; karena hidup adalah perjalanan, karena hidup adalah petualangan, entah itu dimulai sejak masa-masa jerawat berhamburan untuk pertamakalinya, saat pacaran, setelah mengucapkan janji perkawinan, saat puber kedua, atau setelah menyemir putihnya rambut untuk keempatbelaskalinya. Kita sama-sama sepakat tentang itu.

Dunia yang sering tidak sepakat dengan kita, dengan orang-orang seperti kita. Ketika kita lebih suka mengarungi malam yang beku ketimbang siang yang terik, mereka menyebut kita “Insomnia”: orang-orang yang kena penyakit susah tidur – padahal waktu tidur kita sama-sama delapan jam sehari! Ketika kita duduk membaca lebih lama ketimbang yang lain, mereka melabeli kita “Kutu Buku”; holiwood memberi gambaran mendunia tentang itu: punggung bungkuk, berkacamata pantat botol, sering acuh dengan penampilan, dan menjemukan – padahal kita tahu, kutu bukanlah makhluk penyendiri dan tak hanya merumput di satu kepala. Ketika kita terlihat akrab dengan lebih dari satu lawan jenis, julukannya malah lebih ramai lagi: genit, ganjen, nakal, bahkan penggoda – padahal kita ingin belajar untuk memilih, ingin tahu untuk memastikan. Dunia memang lebih suka yang aman, lebih senang dengan yang mapan, lebih senang berada dalam batasan, dan sering tidak sepakat dengan kita; karena kita petualang. Karena petualang adalah pemberontak, karena petualang adalah penerobos batasan, karena petualang lebih setuju dengan alam ketimbang dunia: hidup ini evolusi.

Aku menulis lagi tentang ini, setelah sekian lama. Bukan untuk menggugat kisah lama atau menggerus cerita yang enggan kau tuturkan. Ini hanya pengingat, tentang apa dan dari mana kita tumbuh dan berangkat. Bahwa setiap petualang, sejauh apapun mereka berjalan, sebanyak apapun yang mereka miliki, pasti akan selalu menyimpan ingatan tentang rumah. ini hanya pengingat, ketika di tahun yang baru segala yang lama disyukuri, segala yang baru diimpikan: tentang siapa dan ke mana kita pergi. Bahwa setiap petualang, tak peduli sejak kapan mereka mulai, pasti akan meninggalkan banyak hal sebagai kurban atas pilihannya. Di tahun yang baru, di usia yang baru, ketika hidup diremukkan untuk dimaknai kembali, ingatlah tentang ini: apakah kau berani untuk sekali lagi bermimpi tentang apa yang kau dambakan dan apakah kau berani bangun untuk menjalaninya. Karena jika tidak, di akhir hidup, makam bukanlah pintu untuk perjalanan selanjutnya, tetapi rumah untuk raga yang telah dimakan usia. Kita pernah sama-sama sepakat tentang itu, dulu.

Aku akan selalu mengingat kita, mengingat petualangan-petualangan kita; mendoakan kapan semuanya terulang kembali dalam cerita yang berbeda, sambil di saat yang sama berharap kapan semuanya bisa berakhir tanpa harus ada yang terluka. Betapapun, ada saatnya kita berhenti untuk berunding, apakah perjalanan ini kita teruskan ataukah kita sudahi sampai di sini saja. Kalau kita berhenti, kita akan pulang ke pintu rumah yang berbeda. Kalau kita teruskan, jalan akan kita tempuh bersama, meski perjalananmu selamanya akan tetap bukan perjalananku. Usah bermimpi di hari ini, bahagia seperti apa yang kira-kira nanti kita bagi dan dapatkan. seperti kata seorang sahabat; bahagia itu kita yang tentukan, bukan mereka. Bermimpilah sesuatu yang lain di hari ini, setelah kau membacanya; cerita seperti apa yang kira-kira nanti kita bawa untuk mereka yang masih selalu menunggu kapan kita kembali, pulang.

Selamat Tahun Baru. Selamat Ulang Tahun. Teriring maaf untuk kado yang dikirim di tempat dan waktu yang tidak seharusnya. 🙂

Lage Golo Limbang Tacik
Artikel SebelumnyaJembatan: Ketika Nara Reba Bertemu Enu Molas
Artikel BerikutnyaBelajar Bahasa Manggarai, Setelah Arab: Mozaik Joak