Esok Dalam Gelas Kopi

Bagaimana jika detail terkecil dari kejadian hari esok dapat diprediksi dalam segelas kopi hitam? Tak perlu membayar mahal untuk itu. Cukup traktir saya secangkir kopi Flores. Esok Dalam Gelas Kopi, sebuah cerita tentang Tasseografi dari pelosok timur.

“We do not need magic to transform our world. We carry all of the power we need inside ourselves already.”
– JK. Rowling, Penulis Harry Potter.

Ramalan Dalam Secangkir Kopi Flores

Umurnya lewat paruh abad. Hitam. Keriting. Manis. Tiap kali pulang ke kampung, selalu ia yang menjawab “Uuu.. Nia ngaok apa pande?” yang diteriakkan di depan pintu.

Nnook?!!” teriaknya dari dapur, seakan tak percaya bahwa itu suaraku. Ah, ya. Meski bertahun-tahun aku tak pulang, ia tetap mengenali suaraku. Dan, ya. Meski sapaanku telah berganti Obeth, ia masih memanggilku dengan nama kecilku dulu, ‘Nok.

Untuk seorang yang hanya tamat es-de, Bahasa Indonesianya lumayan, mengingat ia juga tinggal di kampung yang jaraknya empat jam dengan bus kayu (Otto Colt – begitu kami menyebutnya) dari ibukota kabupaten Manggarai.

Yaa.. meskipun kalimatnya banyak tumpang tindih, semisal: “Sampai kapan libur de meu, nde’?” (“Kalian libur sampai kapan/tanggal berapa?”) Hahaha..

Aunty. Mengingat keluguan dan kesahajaannya membuatku menyesal karena lama belum pulang kampung.

Terakhir, di libur panjang setamat es-em-a, kami duduk di dekat likang (tungku), bercerita sambil menunggu matangnya jagung rebus yang baru dipanen dari kebun kakek.

“’Nok, nanti ‘Nok sekolahnya lama,” katanya sambil memutar-mutar gelas kopi pertamaku yang keburu habis diminum, tak sabar menunggu jagungnya matang.

“Kenapa, Tanta?”

“Tidak,” katanya tegas. Baru aku perhatikan, ia berkata seyakin itu setelah melihat ampas kopi di gelasku. “Nanti ‘Nok pergi ke tanah jauh. Seberang laut. ‘Nok pergi sekolah. Lama.”

Aku urung bertanya lagi, karena matanya berkaca-kaca. Ia memandangi bara dalam likang sekian lama, seolah meyakinkan dirinya bahwa ia tak boleh menangis di depan keponakannya sendiri.

Malam itu, setelah acara makan jagung berlalu, ia masuk ke kamar dan baru keluar keesokan paginya, saat aku mau berangkat pulang ke rumahku, Ruteng.

“Kalau nanti ‘Nok di tanah orang, jangan lupa dengan Tanta e?”

“Tidak mungkin saya lupa kah, Tanta. Tetapi kasih tahu dulu, Tanta lihat itu di saya punya gelas kopi tadi malam, kah?” aku bertanya penasaran.

“Iya, ‘Nok.” dan tangisaya pun pecah. Ia memelukku dan menangis terisak. Tangisannya baru berhenti setelah suara bus kayu mulai terdengar dari kejauhan.

Tentang Hari Ini

Di tepi Rana Pokor, saat berdua menunggu Bus Kayu yang akan membawaku pulang ke Ruteng, aku sempat bertanya padanya tentang ramalan ampas kopi-nya.

“Tanta, kanapa Tanta percaya ramalan ampas kopi? Kalau memang itu ramalan benar, kenapa dari dulu tidak ramal kapan dapat suami dan punya anak?”

Ia berhenti menangis dan tertawa terpingkal-pingkal. “Hahaha … Ghau, nde’. Peto palak ata tu’a nenggitu” (dosa jika berbicara seperti itu tentang orang tua).”

“Satu yang perlu ‘Nok ingat. Tidak penting bagaimana yang ada di gelas kopi. Asal ‘Nok tetap ingat dengan Tanta, itu sudah cukup. ‘Nok memang anaknya Kakak Oni, tetapi ingat, ‘Nok juga masih punya Tanta di Mukun sini,” pesannya.

Hari itu, sepanjang perjalanan pulang ke Ruteng kuhabiskan dengan mengingat wajahnya: hitam, keriting, manis, tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

Diperbaharui pada Februari 2015

Percaya

Saya dan (mungkin juga?) Anda, adalah bagian dari sekelompok orang yang percaya akan hidup setelah kematian. Saya dan (mungkin juga) Anda adalah orang-orang yang meyakini bahwa kehidupan seseorang tidak tuntas dalam satu proses datar: lahir, kecil, muda, tua, dan akhirnya … mati. Anda dan saya adalah bagian dari kelompok yang percaya bahwa ada hidup-setelah-kematian.1Keyakinan saya akan hidup setelah kematian banyak dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terjadi sejak masa kecil. Setelah beberapa kasus, duduk diam dan mengunci mulut rapat-rapat adalah cara terbaik untuk tidak menimbulkan masalah. Saat menginjak umur sembilan tahun, Bapa membawa pulang ke rumah sebuah buku yang kemudian banyak mengubah hidup saya setelahnya: “Manusia Tidak Mati” yang ditulis oleh Aiko Gibo. Setidaknya, jika Anda mengambil posisi yang berbeda, Anda tentunya mengakui bahwa sejumlah hal dalam kehidupan ini tidak (belum) bisa dijelaskan dengan logika akal sehat, perhitungan logis-matematis, atau oleh se-perpustakaan tulisan saintifik.

Saya (mungkin juga Anda) dibesarkan di masa 80-an hingga 90-an, masa ketika teknologi belum merampok hangatnya kebersamaan antar-anggota keluarga. Di masa itu, televisi belum menggantikan dongeng pengantar tidur. Gadget belum merebut fokus perbincangan dalam pertemuan keluarga besar. Juga, “kesibukan” dalam arti kekinian, belum menjadi alasan untuk gagal mewariskan nilai-nilai spiritual antar-generasi.

Sedikit keterangan tambahan: saya dibesarkan pada era Soeharto di Ruteng, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur – sebuah kota kecil di pedalaman Indonesia Timur. Di sana, ketika itu, bisa menonton TVRI dan mendengarkan RRI adalah sebuah kemewahan tersendiri.

Pada masa itu, dongeng sebelum tidur adalah salah satu cara yang digunakan para orang tua untuk menanamkan nilai-nilai dalam kesadaran anak-anaknya. Peran “pendongeng” dari para orang tua itu kadang diambil alih oleh Kakek-Nenek, Om-Tanta, Kakak, atau orang yang secara kebetulan mendapat tugas menidurkan sang anak.

Well, masing-masing orang punya cara tersendiri untuk mendongeng. Masing-masing orang juga punya cerita tersendiri untuk didongengkan. Isi dongeng pun bisa bermacam-macam. Satu yang pasti, selain nilai-nilai edukatif yang bersifat sugestif, hal lain yang ikut tertanam dalam diri sang anak adalah kepercayaan.

Saya menjadi bagian dari anak-anak itu, bagian dari generasi yang mengawali “kepercayaannya akan hidup dan dunia yang mahaluas ini” dari dongeng sebelum tidur. Saya percaya akan ada dan kemahakuasaan Mori Kraeng (Sang Pemilik Segala – Tuhan). Saya percaya adanya ganjaran akan setiap perbuatan yang dilakukan pada saat ini, akan eksistensi dari Ata Pa’ang Be Le (Orang-orang di dunia seberang, dunia setelah kematian), serta keberadaan dari Ata Pele Sina (makhluk dunia lain).2Keterangan lanjutan tentang tema Mori Kraeng sebagai Wujud Tertinggi bagi orang Manggarai dan keterkaitannya dengan kepercayaan akan “alam seberang” yang diyakini masyarakat Manggarai telah banyak diulas oleh sejumlah sosiolog dalam beberapa tulisan ilmiah. Beberapa sahabat blogger asal Manggarai, dalam gaya dan cara-nya sendiri juga telah mengupas tema yang sama di blognya masing-masing. Saya sendiri tertarik dengan pemaparan tetang Mori Kraeng yang tersaji dalam jurnal MISSIO, sebuah jurnal ilmiah bagi ahli dan speasialis ilmu pendidikan, filsafat-teologi, budaya dan agama. Dua artikel menarik tentang Mori Kraeng di Jurnal itu ditulis oleh Romo John Boy Lon, Pr.: God is Mori Kraeng and Ine Rinding Wie in Manggarai dan Kanisius Teobaldus Deki: Mori Jari Dedek: Allah Yang Terlibat

Saya juga percaya bahwa ada cara-cara tertentu yang digunakan oleh manusia yang hidup di dunia ini untuk berkomunikasi dengan Mori Kraeng dan Ata Pa’ang Be Le atau sebaliknya. Saya lalu belajar bahwa isi dan maksud komunikasi itu bentuknya bisa bermacam-macam. Dalam konteks tulisan ini, saya percaya bahwa ramalan adalah salah satu bentuk dari metode komunikasi itu.

Catatan Tentang Para Pelihat

Orang Manggarai meyakini, perjuangan mencapai kehidupan yang didambakan selalu berada dalam tiga dimensi waktu: masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Bertumpu pada masa sekarang, orang Manggarai membaca kehidupannya dengan meneropong masa lalu seraya mengarahkan diri ke masa depan. Hal ini jelas terungkap dalam Torok (doa/mantra agama asli Manggarai) saat upacara Teing Hang (Persembahan kepada leluhur yang telah meninggal).

Sejauh yang saya pahami, Torok terdiri dari ungkapan-ungkapan yang tersusun dalam syair-syair indah untuk menyatakan maksud-maksud tertentu yang ditujukan kepada Wujud Tertinggi (Mori Kraeng) sekaligus menjadi doa dan harapan bagi para leluhur. Penutur torok biasanya adalah “orang terpilih” yang menjadi wakil dari para peserta acara adat untuk berbicara kepada Mori Kraeng atau para leluhur.3Penuturan Torok selalu disampaikan dalam konteks acara adat. Ada juga torok yang bersifat “privat” seperti dalam upacara kehamilan, kelahiran atau upacara perkawinan. Torok kerap pula terkait dengan siklus kehidupan orang Manggarai dalam filosofi terkenal yakni Gendangn one, Lingkon pe’ang yang menyatakan satu kesatuan antara rumah sebagai tempat tinggal dengan kebun/ladang sebagai lahan mengais kehidupan. Simak penjelasan lengkapnya dalam artikel Kornelius Rahalaka: Ritual ‘Torok Teing Hang’.

Hal yang menarik adalah, terjalin bentuk komunikasi dua arah dalam Torok upacara Teing Hang. Jawaban atas doa dan harapan yang disampaikan dalam Torok dapat langsung ditemukan dalam Urat Manuk (urat hati ayam / usus halus ayam) yang dikorbankan dalam upacara itu. Penutur Torok menjadi penerjemah pesan bagi peserta upacara, apa “jawaban” Mori Kraeng atau para leluhur yang tersirat dalam Urat Manuk. Jawaban inilah yang kemudian menjadi pedoman langkah laku atau tindakan selanjutnya yang harus diambil setelah upacara tersebut.

Dibesarkan sebagai anggota suku Ntangis Waling (Ntangis: Elang, Waling: nama kampung asal Bapa) membuat saya berkesempatan mengenal beberapa “penutur Torok” yang hebat. Dalam setiap upacara adat yang saya ikuti, mereka tampil sebagai pendoa dengan kata-kata berima magis sekaligus sebagai peramal dengan prediksi yang tak terbantahkan. Uniknya, dalam kehidupan sehari-hari, mereka adalah orang-orang biasa, petani Waling sederhana yang hidup dalam kehajaan seperti orang-orang lain.

Mereka tidak mendapat perlakuan yang istimewa seperti kisah para Shaman dalam peradaban klasik atau para penjaga Heka di dunia Mesir kuno.4Peran “penutur Torok” tidak lantas disamakan dengan peran “Dukun” sebagaimana yang umum dipahami oleh masyarakat Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapura – bandingkan Artikel Wikipedia tentang Dukun). Istilah Dukun/shaman memiliki tugas dan peranan yang jauh lebih luas, yang tak terpisahkan dari fungsi dan tanggungjawabnya untuk menjaga “keberlangsungan hidup suatu suku” (penjaga ritual, pelestari magic, perlindungan spiritual, penyembuhan atas penyakit dan kutukan, serta pnghubung dengan dunia roh. Para penutur Torok bukanlah dukun. Mereka adalah para paman yang akan duduk semeja denganmu dan bercerita dalam bahasa Indonesia yang fasih tentang keadaan di kebun dan hasil panenan belakangan ini.

Mereka juga adalah pendongeng dengan ingatan kuat tentang sejarah suku atau kisah-kisah Alkitab. Dan, mereka adalah orang tua yang juga akan bercerita dengan bangga tentang anak-anaknya, para sepupu yang kini tersebar di seantero nusantara. Itulah yang membuat mereka selamanya menjadi “pelihat” terhebat yang pernah saya temui: para peneropong masa depan yang tak mengenal uang atau perlakuan khusus sebagai imbalan atas kemampuan yang mereka miliki.

Penti di Wae Rebo Manggarai - Flores

Melihat Dengan Mata Yang Lain

Sama seperti Waling dan beo (kampung) lainnya di Manggarai, Pong Bali – Mukun (Kampung asal Mama) juga punya Penutur Torok-nya sendiri. Namun, Pong Bali membekaskan cerita yang berbeda di ingatan kanak-kanak saya. Dari belasan saudaranya, mama hanya punya dua orang saudara laki-laki (salah satu dari antaranya telah meninggal sepuluh tahun yang lalu). Mungkin karena dalam konteks masyarakat Manggarai, perempuan mendapat peran yang berbeda dalam upacara adat, karunia “Penutur Torok” diwariskan dalam rupa yang berbeda pula.

Beberapa ungkapan yang bertautan dengan “ramalan” tentang hari esok, sempat saya ingat dalam kebersamaan dengan para Tanta (Saudari-saudari Mama – karena terbiasa sejak kecil, kami memanggil mereka Tanta/Inang. Harusnya mereka dipanggil dengan sapaan Ende Koe: Mama Kecil/Bibi). Ungkapan-ungkapan itu akan sebisanya saya ingat dan tuliskan di sini.

Ure. Dalam Kamus Bahasa Manggarai, Pater Verheijen, SVD menerjemahkan kata itu dengan: penglihatan waktu hilang kesadaran sebentar. Dalam percakapan dengan beberapa sahabat yang berbahasa Manus – Manggarai Timur, Ure juga diterjemahkan dengan ba tara (membawa rupa): terjadi komunikasi dengan “makhluk dunia lain” yang mengambil rupa orang yang kita kenal, dengan maksud untuk memberi tahu atau memperingatkan bahwa sesuatu akan terjadi.

Lure. Secara harafiah, Lure diterjemahkan sebagai “mimpi”: seseorang mengalami penglihatan akan sesuatu dalam kondisi (seolah-olah) sedang bermimpi. Berbeda dengan Deja Vu, seseorang yang mengalami Lure akan sejenak bingung dengan apa yang baru saja dialaminya: “Tadi itu mimpi atau bukan, ya?” adalah ungkapan yang kerap terlontar setelahnya.

Zelong Kopi. Dialek Manus untuk “Lelo Kopi” (melihat ampas kopi): metode membaca pesan dengan melihat ampas kopi dalam gelas yang diminum oleh seseorang yang ingin diterawang masa depannya. Metode ini benar-benar berbeda dengan dua istilah sebelumnya. Ure dan Lure kerap dilekatkan pada “ata mata ita” (orang yang bermata terang – memiliki indera keenam / memiliki kemampuan untuk melihat apa yang tak tampak secara kasat mata). Sementara itu, Zelong Kopi/Lelo Kopi lebih dikaitkan dengan kemampuan untuk membaca tanda-tanda fisik yang hadir melalui alur ampas kopi untuk kemudian menghubungkannya secara intuitif dengan apa yang akan terjadi di masa depan.

Kombinasi antar ketiganya adalah kemampuan yang sangat jarang. Beberapa orang beruntung bisa memilikinya. Cerita yang diangkat di Esok Dalam Segelas Kopi ini adalah sepenggal dari sekian banyak kisah yang saya alami bersama orang-orang itu.

Jejak Sejarah Pembaca Kopi

Awalnya saya hanya menganggap bahwa zelong kopi yang selalu saya alami setiap kali berkunjung ke Pong Bali – Mukun adalah kegiatan iseng untuk mengisi kebersamaan dengan para tanta di seputaran Likang. Persepsi itu perlahan-lahan bergeser setelah beberapa kali saya menyadari bahwa “tebakan” mereka seringkali benar. Tidak sekali-duakali juga “prediksi” mereka ternyata terbukti tepat terjadi tak lama setelah kembali dari Pong Bali. Tak masuk akal, memang.

Dalam pengembaraan di perantauan, saya kemudian menemukan bahwa ternyata metode “menerawang ke dalam gelas kopi” tidak hanya dimiliki oleh para tanta dari Pong Bali. Disebutkan, meramal dengan kopi bahkan sama tuanya dengan umur kopi itu sendiri. Metode ini umum dikenal dengan nama Coffee Tasseography. Orang-orang Yunani menyebutnya καφεμαντεία. Di Serbia, metode yang sama dikenal dengan sebutan гледање у шољу. Besar kemungkinan, orang-orang Turki-lah yang kemudian mempopulerkan ini ke dunia barat dengan istilah kahve falı.5Kabar lain menyebutkan, metode ini sudah ada di Cina juga sudah sejak ratusan tahun lalu. Di Eropa Tasseografi baru merebak di akhir Abad 17, sempat menjadi trend di Paris, dan kemudian menyebar ke Austria, Hungaria, dan Jerman. Bandingkan dengan artikel rintisan tentang Tasseography

Jika benar bahwa metode Coffee Tasseography ini sama tuanya dengan umur kopi itu sendiri, pertanyaan yang (bagi saya) terasa janggal adalah: apakah metode ini juga ‘ikut’ masuk ke Manggarai saat para Misionaris memperkenalkan Kopi Tuang ke Manggarai? Tentu tidak. Zelong Kopi adalah bentuk lain dari metode Urat Manuk, sebuah model komunikasi-dua-arah-dengan-dunia-lain dalam konteks masyarakat patriarkat. Dalam arti itu pula, Ure, Lure dan Zelong Kopi, adalah cara masyarakat Manggarai memberi ruang untuk mengakui perempuan sebagai messenger, pembawa pesan mistis yang minus Torok dengan segala syair-syair indahnya.

Ah, catatan ini sudah kelewat panjang. Mari kita sambung di lain waktu. Atau, kalau Anda punya waktu, mari kita berbincang sambil menikmati segelas kopi. Siapa tahu, ada sesuatu yang bisa diungkapkan dari jejak masa depan yang terbaca di sana. Tabe.

Catatan Narareba:

  • 1
    Keyakinan saya akan hidup setelah kematian banyak dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terjadi sejak masa kecil. Setelah beberapa kasus, duduk diam dan mengunci mulut rapat-rapat adalah cara terbaik untuk tidak menimbulkan masalah. Saat menginjak umur sembilan tahun, Bapa membawa pulang ke rumah sebuah buku yang kemudian banyak mengubah hidup saya setelahnya: “Manusia Tidak Mati” yang ditulis oleh Aiko Gibo.
  • 2
    Keterangan lanjutan tentang tema Mori Kraeng sebagai Wujud Tertinggi bagi orang Manggarai dan keterkaitannya dengan kepercayaan akan “alam seberang” yang diyakini masyarakat Manggarai telah banyak diulas oleh sejumlah sosiolog dalam beberapa tulisan ilmiah. Beberapa sahabat blogger asal Manggarai, dalam gaya dan cara-nya sendiri juga telah mengupas tema yang sama di blognya masing-masing. Saya sendiri tertarik dengan pemaparan tetang Mori Kraeng yang tersaji dalam jurnal MISSIO, sebuah jurnal ilmiah bagi ahli dan speasialis ilmu pendidikan, filsafat-teologi, budaya dan agama. Dua artikel menarik tentang Mori Kraeng di Jurnal itu ditulis oleh Romo John Boy Lon, Pr.: God is Mori Kraeng and Ine Rinding Wie in Manggarai dan Kanisius Teobaldus Deki: Mori Jari Dedek: Allah Yang Terlibat
  • 3
    Penuturan Torok selalu disampaikan dalam konteks acara adat. Ada juga torok yang bersifat “privat” seperti dalam upacara kehamilan, kelahiran atau upacara perkawinan. Torok kerap pula terkait dengan siklus kehidupan orang Manggarai dalam filosofi terkenal yakni Gendangn one, Lingkon pe’ang yang menyatakan satu kesatuan antara rumah sebagai tempat tinggal dengan kebun/ladang sebagai lahan mengais kehidupan. Simak penjelasan lengkapnya dalam artikel Kornelius Rahalaka: Ritual ‘Torok Teing Hang’.
  • 4
    Peran “penutur Torok” tidak lantas disamakan dengan peran “Dukun” sebagaimana yang umum dipahami oleh masyarakat Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Brunei dan Singapura – bandingkan Artikel Wikipedia tentang Dukun). Istilah Dukun/shaman memiliki tugas dan peranan yang jauh lebih luas, yang tak terpisahkan dari fungsi dan tanggungjawabnya untuk menjaga “keberlangsungan hidup suatu suku” (penjaga ritual, pelestari magic, perlindungan spiritual, penyembuhan atas penyakit dan kutukan, serta pnghubung dengan dunia roh. Para penutur Torok bukanlah dukun.
  • 5
    Kabar lain menyebutkan, metode ini sudah ada di Cina juga sudah sejak ratusan tahun lalu. Di Eropa Tasseografi baru merebak di akhir Abad 17, sempat menjadi trend di Paris, dan kemudian menyebar ke Austria, Hungaria, dan Jerman. Bandingkan dengan artikel rintisan tentang Tasseography
Artikel SebelumnyaSepasang Sandal
Artikel BerikutnyaAntara Pancoran dan Pintu Tol