Enggan Makan, Bukannya Pantang atau Puasa

Enggan Makan, Bukannya Pantang atau Puasa

Orang-orang rumah tahu, saya jarang makan. Orang-orang yang sering ke rumah juga tahu, saban jam makan, saat kami duduk di dapur belakang yang rada sumpek itu, saya lebih sering duduk menemani sambil mencicipi segelas kopi. Itu bukan cerita baru.

Makanya, saya agak terkejut ketika dalam zoom terakhir bersama teman-teman ex-Sanpio ’99, ada yang menyeletuk, “Kraeng sudah gemuk sekarang e..”.

Kaget, karena saya merasa jarang makan, koq bisa dikomentari ‘gemuk’. Apakah kopi dan Gudang Garam bisa membentuk otot dan lemak?

Entahlah. Tetapi, mungkin ada benarnya juga.

Mungkin karena, menurut buku-buku sains, manusia bisa bertahan hidup tiga minggu tanpa makan, tetapi hanya bisa bertahan tiga hari tanpa air.

Mungkin juga karena, permintaan terakhir Sang Guru jelang menghembuskan nafas terakhir di ketinggian salib adalah “Aku Haus”, bukannya “Aku Lapar”. Ya, padahal kan Ia belum makan sejak Malam Perjamuan, lalu seharian menahan siksa serta memanggul Kayu Palang ke Puncak Golgota.

Mungkin itulah kenapa, harta pertama yang saya miliki setelah menginjakkan kaki di Jakarta adalah sebuah galon air.

Mungkin itu juga kenapa, saya cenderung akan lebih menyukai orang yang mengirimkan pesan “Jangan lupa minum air,” ketimbang “Jangan lupa makan”.

Atau, ajakan semacam ngopi-ngopi kapan dan di mana.*

Enggan Makan, Bukannya Pantang atau Puasa

Exit mobile version