BKH, Mempertanggungjawabkan Sebuah Pilihan untuk NTT

Tidak sedikit yang bereaksi gegara tulisan kemarin, “Memilih BKH, Catatan dari Warung Kopi“. Ada yang mendukung, ada yang ‘Like‘, ada yang mempertanyakan, ada juga yang mengkritik bahkan mencemooh. Untuk semua itu, saya ucapkan terimakasih. Terimakasih telah membaca dan sejenak singgah di Narareba.

BKH: Benny K. Harman

Tulisan hari ini adalah kelanjutan dari itu, bagian kedua dari serangkaian catatan yang akan ditulis tentang Pemilihan Gubernur Nusa Tenggara Timur. Please jangan menyamakan istilah ‘serangkaian’ sebagai kumpulan materi kampanye pemenangan. Bukan, bukan itu.

Saya menulis di sini sebagai ungkapan keterlibatan, cara saya untuk turut berpartisipasi membangun NTT. Dalam konteks Pilgub 27 Juni nanti, serangkaian tulisan ini sedianya akan menjadi catatan reflektif pribadi yang dibagikan ke ruang publik tentang pilihan saya.

Tsamara Amany tentang Pilgub DKI
Foto: Twitter @TsamaraDKI

Sekali Lagi, Terimakasih
Bahwa ada yang mendukung dan ‘Like‘, mungkin saja karena pilihannya ternyata sama. Bisa juga karena merasa tuturannya berkenan, tanpa harus setuju dengan pilihan saya tentang BKH. Atau bisa jadi, dukungan itu adalah tanda setuju ketika ada putra NTT di perantauan yang ikut terlibat dengan caranya sendiri, menulis di blog.

Tentang mereka yang melampirkan kritik dan cemoohan, mungkin saja karena pilihannya ternyata beda. Bisa juga karena tuturannya kelewat sederhana dan masih minim data-logika. Atau bisa jadi karena beranggapan bahwa NTT diaspora tak perlu ikut campur dalam carut-marut dinamika politik NTT; hanya akan memperkeruh suasana.

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun?

Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin,

akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
– Pramoedya Ananta Toer

Sekali lagi, untuk semuanya saya ucapkan terimakasih. Pertama, karena telah sejenak singgah di Narareba, blog sederhana tempat saya mulai berlatih menulis online dan pertamakali mengenal dunia digital strategist. Maafkan untuk tampilannya masih sebegini ini.

Kedua, terimakasih karena telah membekaskan jejak komentar, reaction, atau emoticon. Semuanya itu membantu saya untuk menulis semakin baik lagi: baik dari sisi runtutan pengungkapan ide, gaya bahasa, pun tentang pendasaran logis kenapa saya memilih BKH.

Ketiga, terimakasih karena telah secara terbuka menyatakan sikap untuk turut membangun NTT: entah lewat diskusi kritis di kotak komentar sosmed, cemoohan bernada mengejek saat link-nya dibagikan di grup Whatsapp, atau ‘tulisan tandingan’ dalam nada sinis tentang ‘prinsip minus malum‘ yang kemarin saya utarakan.

Quotes Iwan Fals
Foto: Hipwee

Buku (Digital) Ini Aku Pinjam
Judul kecil ini saya pinjam dari judul tulisan Wisnu Dewabrata tentang konsep perpustakaan digital di Kompas hari ini, Minggu (4/3/2018). Ah ya, maaf. ‘Kami’ meminjam judul lagu pertama di side A dari album 1910-nya Iwan Fals: Buku Ini Aku Pinjam.

Tidak banyak yang tahu, kenapa album yang dirilis pada tahun 1988 itu diberi tema sembilan belas-sepuluh oleh sang Maestro. Tema itu bukan merujuk pada tahun 1910, melainkan pada Tragedi Bintaro yang terjadi pada 19 Oktober 1987.

Di hari itu (19/10/1987), sebuah kereta api ekonomi patas jurusan Tanah Abang – Merak bertabrakan dengan kereta api ekonomi cepat jurusan Rangkasbitung – Jakarta Kota di Bintaro, Jakarta Selatan. Sebuah peristiwa yang tercatat sebagai salah satu kecelakaan paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia.

Iwan Fals mengabadikan itu dalam albumnya, 1910. Kenapa “Buku ini Aku Pinjam” ditempatkan sebagai lagu pertama di antara 10 lagu di album itu? Mungkin, ini cara Iwan Fals mengungkapkan apa yang juga dibahasakan oleh Seno Gumira Ajidarma:

Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa – suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang

Iwan Fals ‘menuliskan’ tragedi itu dalam 1910. ‘Buku ini Aku Pinjam menjadi lagu pembuka, sebuah ajakan bagi generasi muda untuk masuk dan terlibat dalam keseluruhan cerita, dari tema remeh tentang cinta remaja hingga lagu terakhir, 1910: catatan atas tragedi yang menimpa bangsa.

Di Narareba, dalam konteks Pilgub NTT, saya mengamini itu: menulis untuk keabadian. Semoga rangkaian tulisan ini nantinya bisa menjadi rekaman, catatan pertanggungjawaban saat menoleh ke belakang di kemudian hari, tentang keputusan yang telah diambil untuk NTT: memilih BKH.

Harusnya, tulisan-tulisan ini menjadi catatan pribadi, bukan untuk diumbar ke ruang publik, bahwa saya memilih BKH. Itu kenapa Buku (Digital) Ini Aku Pinjam dipakai sebagai judul kecil: ‘catatan pribadi’ ini saya bagikan sebagai ajakan untuk berdialog sekaligus berdiskusi tentang figur pemimpin dan masa depan NTT lima tahun ke depan.

Bahwa saya memilih BKH, Benediktus Kabur Harman, itu pilihan saya. Jika Saudari/Saudara punya pilihan yang sama atau berbeda, mari berdiskusi, silahkan berdialog. Bukankah selama ini NTT kita bangun di atas ragam perbedaan?

Di akhir catatan kali ini, ijinkan saya mengutip ujaran Mohammad Zeyara, kalimat yang juga telah saya posting di wall Facebook sore kemarin:

If they respect you, respect them. If they disrespect you, still respect them. Do not allow the actions of others to decrease your good manners, because you represent yourself, not others.

Salam ngopi di Minggu sore. Jangan lupa cuci gelas.

@narareba,
Genjing, Minggu Prapaskah III 2018.

Artikel SebelumnyaMemilih BKH, Catatan dari Warung Kopi
Artikel BerikutnyaJakarta yang Sesaat Menjelma Menjadi