Bila Perlu, Menangislah Sampai Habis

Bila Perlu, Menangislah Sampai Habis

Saya tidak sedang baik-baik saja ketika kiriman dari Banjarmasin itu tiba. Isinya, buku setebal 419 halaman yang ditempeli sticky note berwana biru. “Happy Valentine’s Day, Mas Obeth,” tertulis di sana.

Mood perlahan membaik. Setidaknya, untuk mandi.

Seringnya memang begitu. Ketika suasana hati dan isi kepala sedang tidak baik-baik saja, larinya akan kemana-mana. Tanda-tanda awal biasanya akan dimulai dari enggan mandi. Ekstremnya, bisa sampai ke tingkatan enggan tidur.

Bisa berhari-hari. Tergantung level mood-nya.

Kalau sudah begitu, sejumlah mood-repair-strategies mulai dijalankan satu per satu. Mulai dari membaca buku sampai mata bengkak. Atau, nonton sekian episode movie series. Atau, push-rank di Mobile Legend. Atau, gitaran sampai suara serak.

Atau, bergulat di depan laptop. Sampai jari-jemari keriting.

Kalau dipikir-pikir, cuma itu. Semenjak menjauh ke lain kota atau menepi ke sudut warung kopi yang-entah-di-mana tidak lagi bisa jadi alternatif gegara pandemi.*

Sendu, di Mata Para Sahabat

Suatu ketika, saya tercenung setelah seorang sahabat baik berkomentar tentang isi feed Instagram saya, @narareba. Komentarnya agak panjang, tetapi kalau diringkas, isinya kira-kira begini: “Kenapa tampilannya sendu?”

Saya kaget mendengar komentar semacam itu. Dia orangnya jarang berbasa-basi, cenderung kelewat blak-blakkan, malah. Mendengarnya berkomentar semacam itu membuat saya bertanya penasaran, dari mana kesimpulan semacam itu muncul. Sendu?

‘Aura’ yang ditampilkan foto-foto di dalamnya. ‘Puisi’ yang disematkan di setiap keterangan fotonya. Juga, sejumlah detail lain, yang entah bagaimana, agak sulit untuk dibahasakannya kembali. Mungkin karena kata-kata tak pernah cukup untuk membahasakan ‘rasa’.

Saya lantas teringat dengan komentar beberapa sahabat lain. Berwaktu-waktu sebelumnya. Di jeda momen yang berbeda. Tentang lagu-lagu yang sering saya nyanyikan setiap kali gitaran di beranda atau di rumah, di ruang belakang. Sendu.

Perbendaharaan lagu yang ada kebanyakan lagu patah hati. Atau tentang kekasih yang ditinggal pergi. Ambil contoh, lagunya Jason McCoy, I Lie:

My friends all ask me / how I’m doing
Since you took your sweet love away
and I know that they’re / just showing they care
but what do they expect me to say
So I lie / I tell them I’m alright
I lie / I tell them I’m fine.

Kadang juga, balada tentang hidup di perantauan. Atau, lagu-lagu kekinian yang lirik dan nada-nadanya melow-tingkat-semesta. Semisal lagunya Anji, Berhenti di Kamu:

Kalau kuingat-ingat lagi sayang / Hatiku berhenti di kamu
Cerita kita tiada yang bisa gantikan
Namun ada satu yang terjadi
Hatiku cinta kamu, tapi tak bisa mau kembali lagi / Ulang semua
Aku tak mau lukai kamu / Tubuhku butuh kamu
Tapi tak bisa rasa seperti dulu / Rusak sudah aku

Iya, betul. Sendu.

Menangislah Sampai Habis

Kembali soal mood. Kenapa di saat suasana hati sedang tidak baik-baik saja, bukannya ngapain gitu, malah cari-cari kegiatan yang bertema Sendu? Bukannya itu malah memperparah?

Saya meyakini hidup ini seperti roda berputar. Ada susah, ada senang. Ada bahagia, ada sedih. Tidak mungkin akan sedih terus. Tidak mungkin akan bahagia terus. Itulah yang membuat setiap hari itu menarik untuk dijalani. Karena ada dinamika.

Ketika sesuatu membuat saya bersedih atau kecewa, membuat bad mood, ketimbang memilih untuk mengobatinya dengan kegiatan happy-happy, saya memilih cara lain: memanggil sendu. Itu semacam menarik diri sejenak untuk memanggil kenangan tentang kesedihan dari bank ingatan.

Ibaratnya, mengobati kesedihan dengan kesedihan. Mengambil waktu sejenak untuk bersedih sampai sesedih-sedihnya. Sampai sedih itu habis.

Itu tadi; dengan membaca buku sampai mata bengkak. Dengan menonton film sampai punggung patah. Dengan menulis. Dengan Menyanyi. Atau, Menyendiri. Sampai sedih itu habis.

Iya, setiap orang punya caranya masing-masing untuk memperbaiki mood yang sedang tidak baik-baik saja. Cara saya begitu. Bila perlu, bersedihlah sampai selesai. Bila harus, menangislah sampai habis.

“So I walk through the dark, because that’s where the next morning is.”



Exit mobile version