Berawal Dari Cinta Separuh

Tembakau (Nicotiana tabacum), oleh suku Indian Amerika, telah digunakan sebagai rokok sejak 2.100 Sebelum Masehi.1Meminjam istilah Karl May, Pipa Perdamaian yang digunakan oleh suku Indian untuk menghisap tembakau adalah pengungkapan keterhubungan mereka dengan dunia spiritual. Ya, menghisap tembakau (merokok) pada awalnya adalah ritual untuk menghubungkan dunia fisik dan dunia spiritual. Native American menyebutkan, alasan tembakau digunakan dalam ritual penghubung dua dunia itu adalah karena akarnya jauh berakar ke dalam ‘bumi’ dan asapnya berhembus naik hingga ke surga. “The pipe is a link between the earth and the sky. Smoke becomes our words; it goes out, touches everything, and becomes a part of all there is. The fire in the pipe is the same fire in the sun, which is the source of life.”

Saya baru jatuh cinta dengan tembakau sejak satu dekade lalu. Dalam bahasa lain, Berawal Dari Cinta Separuh adalah catatan reflektif tentang usaha untuk berpaling dari cinta pertama itu. Anda mungkin butuh “penerjemah” untuk membacanya.

“When you smoke the herb, it reveals you to yourself.” – Bob Marley

Gudang Garam dan Cinta Separuh

Sa’ pernah belajar untuk berhenti merokok: hari pertama, dari dua batang jadi satu batang. Trus, dari satu batang, jadi separo batang. Malu juga e, banyak teman seangkatan yang bilang: merokok itu tanda gangguan mental. Maklum, kami tinggal di lingkungan yang menajiskan tembakau berbentuk asap..

Meski sering sa’ jawab mreka pung gosip dengan agak malas tau: “Tir apa-apa, kan itu bagian dari seremoni mendupai Bait Suci. Bukannya guru agama bilang; tubuh kita adalah Kemah Suci?” Tetapi toh, itu rasa malu tetap ada – apalagi katanya; perokok susah dapat cewek.

Sa’ kemudian coba untuk benci sama yang namanya Gudang Garam Filter.
Itu dulu, waktu SMA.

Benar, memang: cinta pertama tir akan pernah mati. Dalam kasus ini, sa’p cinta deng kretek filter berjudul: Nikotin 12 Batang Berlabel Gudang Garam Di Pinggiran Rel, tir mati-mati. Meski sa’ su berpindah ke lain hati, mencoba permen sebagai pengganti rokok, itu rasa rindu slalu saja datang menghantui. Sa tir tahan e..

Minggu ketiga, satu batang lagi. Trus dua batang, tiga batang, empat batang, enam batang … Dan, cinta enam batang itu tetap bertahan, lama, sampai kemudian di Jawa sini sa’ baru tau kalau cinta enam batang itu nama lainnya separuh (separo). Kalau su’ kangen, tinggal ke warung dan ungkapkan cinta: “Mbak, beli filter. Separo.”

Ha.ha.ha….
Jadi lucu sendiri..

Sejak dulu, kami memang sudah sering habiskan hari bersama-sama, bertujuh: sa’ deng enam batang kretek filter.. Akrabnya sulit diungkapkan deng kata-kata. Kami kerap habiskan malam di belakang asrama, di tempat angker yang namanya ‘evergreen belakang’, karena di sana kami bisa memadu kasih tanpa takut kami pung asap cinta bisa tercium Romo Prefek atau sa’p rival cinta: sesama pecandu rokok yang lagi kehabisan stok.

Kami juga slalu setia dalam suka dan duka. Bahkan saat sedih dia lebih sering hadir, seakan-akan lewat tiap hembusan asap dia bilang: you will never walk alone. Dari sa’p percintaan dengan separuh sa’ kemudian belajar: everything will be good in the end; if it is not good, it’s not the end. Begitulah..

Kami juga slalu sama-sama. Ke mana-mana bertujuh. Dia pasti slalu ada di sa’p hati dan sa’p saku;
entah saku baju atau saku celana. Akrabnya sulit diungkapkan dengan kata-kata. Pagi-pagi, pas bangun, sa’ pasti langsung cari dia duluan sebelum cari kamar kecil. Malam juga begitu; cari dia dulu, baru cari tempat tidur..

Sa juga pasti akan sulit belajar kalo dia tir temani sa’ membaca berdiktat-diktat bahan kuliah atau pun beratus-ratus halaman novel. Oh iya, dan berkeping-keping dvd film. Di saat-saat itu, sa’ hampir-hampir rela mati untuk membuktikan bahwa “Bikin hidup lebih hidup!!” adalah mantra, bukan sekadar kata-kata iklan rokok.

Kalau ada yang namanya pacaran, tunangan, kemudian nikah, kisah percintaan kami juga sama: awalnya sebatang, kemudian separo, dan akhirnya sebungkus. Bedanya, kami tir tanda tangan surat nikah. Tapi kemudian, sa’ takut.. takut punya anak. Katanya, kalau nikah dengan rokok, pasti akan lahir anak-anak kembarannya impotensi, kanker, jantungan, paru-paru, dan sejenisnya.. Sa’ langsung meriang..

Teman, ini tulisan su’ terlalu panjang. Sa’ ada kerjaan sedikit, besok-besok bru sa sambung lagi. Sa’ ingiiii..in skali berhenti mrokok, tapi sa ju’ bingung bgimana caranya. Ada yang punya ide? Nanti sa’ masukan di edisi kedua. Soalnya, sa ju’ su’ khabisan cara. Bahkan, ini tulisan juga sa’ buat sambil merokok… Ups!!

Diperbaharui pada Februari 2015

Alasan pertama untuk pertanyaan, “kenapa ingin berhenti merokok?” sebenarnya sederhana: karena merokok itu dilarang. Saya mulai menjadi perokok aktif di umur tujuhbelas tahun. Di usia itu, saya masih berguru di lembah Kisol, masih kelas dua SMA. Well, itu SMA. Itu Seminari. Itu asrama. Itu masa akil baliq: masa ‘berada dalam pengawasan’ dan dianggap belum cukup dewasa untuk menentukan ‘pilihan hidup’. Sepertinya jelas, kenapa kami dilarang merokok.2Tentang pengalaman kami “merokok sembunyi-sembunyi” di Kisol, baca catatan reflektif Nara Reba berjudul Lemorai: Perantau Yang Kembali serta kisah lainnya di Gatot, Robert, dan Agus.

Selepas SMA, peraturannya masih sama: merokok itu dilarang. Tetapi kali ini, kami diberi alasan yang cukup masuk akal untuk pertanyaan, “Kenapa dilarang, bukankah kami sudah cukup dewasa?”. Alasannya juga sederhana: selama masa postulan dan novis, kami (hanya) mendapat jatah uang saku Rp10.000 setiap bulannya; mana cukup untuk membeli rokok?

Nah, karena aturannya sedikit lebih longgar, siasat pun berubah. Kami masih bisa mendapat rokok dari kemurahan hati umat yang menawarkannya ketika melakukan kunjungan ke luar biara. Bahkan kadang, tanpa berkunjung ke luar pun, sebungkus Gudang Garam Filter kadang dititipkan begitu saja “untuk nana Obeth” lewat dapur atau pagar postulan. Masalah selesai.

Tetap saja, itu tindakan ilegal. Apalagi ketika Bruder Triono, OFM (magister postulan) dan kemudian Pater Ignas, OFM (magister novis) terkadang lewat di dekat “ruang rahasia” kami dan mencium asap rokok yang dibawa hembusan angin. Mereka memang tak akan bertanya lagi, siapa pelakunya. Sudah jelas: Obeth. Tatapan mata mereka setelah itu jelas menyiratkan sebuah pertanyaan: kenapa masih merokok? Aiss.. Di situ kadang saya merasa sedih.

Oh ya, di awal tadi sempat dituliskan, Anda mungkin butuh penerjemah untuk membaca “Berawal Dari Cinta Separuh”. Ini catatan saya yang pertama di Facebook, setelah sebelumnya notes eFBe lebih banyak diisi dengan puisi dan puisi. Awalnya cuma catatan iseng. Mencoba untuk menulis dengan gaya yang sedikit ‘di luar jalur’: gaya bahasa Indonesia khas Ruteng. Anda butuh orang Manggarai untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia baku. Atau setidaknya, cobalah untuk mengerti. Mungkin dengan begitu, Anda bisa jadi orang Manggarai, atau paling tidak, memahami mereka.

Catatan Narareba:

  • 1
    Meminjam istilah Karl May, Pipa Perdamaian yang digunakan oleh suku Indian untuk menghisap tembakau adalah pengungkapan keterhubungan mereka dengan dunia spiritual. Ya, menghisap tembakau (merokok) pada awalnya adalah ritual untuk menghubungkan dunia fisik dan dunia spiritual. Native American menyebutkan, alasan tembakau digunakan dalam ritual penghubung dua dunia itu adalah karena akarnya jauh berakar ke dalam ‘bumi’ dan asapnya berhembus naik hingga ke surga. “The pipe is a link between the earth and the sky. Smoke becomes our words; it goes out, touches everything, and becomes a part of all there is. The fire in the pipe is the same fire in the sun, which is the source of life.”
  • 2
    Tentang pengalaman kami “merokok sembunyi-sembunyi” di Kisol, baca catatan reflektif Nara Reba berjudul Lemorai: Perantau Yang Kembali serta kisah lainnya di Gatot, Robert, dan Agus.
Artikel SebelumnyaPamitan Yudas
Artikel BerikutnyaGatot, Robert, dan Agus