Babad atau Tombo Turuk – Catatan Terakhir

weta-nara

Kita selalu jatuh dalam kesalahan yang sama, membagi dunia dalam dua belahan. Berawal dari Hitam dan Putih: khas cara pandang generasi kamera cuci-cetak. Berlanjut ke Timur dan Barat, karena Barat selalu berarti putih dan Timur selalu berarti Hitam KulitRambut KeritingMata Menyala.

Kemudian pembedaan itu merembet ke tetek bengek lainnya ibarat parasit yang tinggal tetap dan beranak-pinak memangsa kebersamaan: prinsip, kebenaran, keseharian, dan sampai pada pandangan hidup setelah kematian. Kau dengan angkasa utara di atas kepalamu, aku dengan langit berjelaga menaungi kepalaku: entah siapa yang jadi katak dalam tempurung – kita selalu berdebat soal itu.

Pasangan romantis

Aku tak pernah percaya dengan idiom itu, bahwa perbedaanlah yang menyatukan yang tercerai-berai: berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Jika satu anak ayam dan satu anak elang disimpan di kandang yang sama, mereka memang bisa tumbuh menjadi sepasang-hewan-bersayap yang tinggal sekandang.

Cepat atau lambat, elang akan belajar untuk mendongak dan terbang mengangkasa sedang ayam akan sadar bahwa genteng perumahan adalah batas tertinggi kodratnya sebagai unggas. Mereka memang sama-sama punya sayap.

Masalahnya, ketika elang menunduk, yang direbutnya dari elang lain bukanlah cacing yang sedang dipatok ayam, tetapi si ayam yang sedang memangsa cacing. Bhineka Tunggal Ika: Ketika pemimpin adalah penguasa dan pengusaha. Bhineka Tunggal Ika: ketika dongengmu adalah Babad Tanah Jawi dan pengantar tidurku adalah Tombo Turuk.

Aiihh.. Apa gunanya aku membuat catatan, lagi? Ini bukan caraku memancing ulang pertengkaran, seperti yang sudah-sudah. Kita sudah sama-sama tahu bahwa setiap pelayar toh akhirnya harus berlabuh di dermaga.

Kita sudah mencincang kapalnya, serpihannya lantas dibagi dua: kau menjadikannya rakit dan meneruskan arah ke pantai barat, aku menjadikannya kayu bakar dan kembali ke pegunungan timur. Kita juga sama-sama percaya bahwa kita tak akan bisa lagi membangun kapal yang sama dari serpihan yang telah kita bagi; itu hanya dongeng bangsa viking, bukan cerita kita.

Pada akhirnya, aku ucapkan selamat jalan. Kita berpisah di sini, di dermaga. Kau berangkat melaut dan aku tak menoleh – aku pulang ke gunung dan kau tak melambaikan tangan. Seperti tiap pelaut lain, setelah amuk badai kau pasti singgah di pelabuhan.

seperti juga setiap pengelana lain, saat berpindah pulau aku pasti akan merapat ke dermaga. Nanti, saat itu, jika kita bertemu di dermaga dalam tatap yang lebih dari sejenak, biarlah kenangan yang berbicara dan bukannya ungkapan basa-basi: “Hai, apa khabar?

Artikel SebelumnyaPara Pekerja di Kebun Apel de Mori
Artikel BerikutnyaAir Mata Lanur